23 | Throwback

4.1K 171 2
                                    

"Di antara kalian berdua ada yang namanya Nico?"

DUA PULUH TIGA

❄❄❄

"Tassia?" Panggil Lio dari luar gerbang hitam sedikit lebih tinggi dari dirinya. Sudah lebih dari lima kali memanggil nama gadis itu, namun satupun tidak ada yang keluar rumah untuk menjawab. "Satu kali lagi gak ada yang keluar, gua cabut lah." Gerutu Lio.

Lio menarik nafasnya kuat dan bersiap untuk teriak, "TASSIA?"

Satpam komplek berlari dari tempat tukang sayur, biasalah godain pembantu pembantu komplek yang ada di sini. "Nyari Tassia mas?"

"Nyari tukang cukur." Lio mendengus halus, "ya nyari Tassia lah pak. Ada?"

"Oh," bibir satpam itu berbentuk bulat sempurna seperti huruf O dan mengangguk. "Tadi sih saya ketemu di depan komplek. Katanya mau kesekolahan,"

"Lah ngapain pak? Kan sekolah dikit lagi libur." Tanya Lio bingung sambil mengernyitkan dahinya.

"Nyari tukang cukur kali," celetuk satpam dan langsung pergi kembali ke kumpulan asisten rumah tangga yang sedang berbelanja.

"Satpam kurang berfaedah," gerutu Lio. Langkahnya langsung memasuki kedalam halaman rumah Omah yang berada di sebelah kediaman Tassia. Menyalakan mesin mobil dan segera pergi ke sekolah untuk menemui Tassia.

Sepanjang jalan pikiran Lio berputar putar, mengatai dirinya sendiri. Kenapa gue gak tunggu rumah aja? Kan, palingan juga mereka pulang kerumah. Dasar idiot! Saat ingin membalik stirnya, di depan mobil mewah Lio ada dua remaja sepantarannya sedang mengendarai sepeda motor dengan pelan pelan. Kayak ibu ibu, pelan banget bawanya. Lio masih aja mengutuk dirinya sendiri, kesal.

Alih alih, Lio langsung memotong perjalanan mereka berdua. Menyalipnya dan sekarang mobil Lio berada di depan mereka.

"GOBLOK LO!" teriak remaja yang mengendarai motor, sepertinya sedikit tersenggol oleh mobil mewah milik Lio. Maknya dia kesal dan marah. Langsung saja remaja itu memotong jalan Lio dari depan dan membuat Lio menghentikan mobilnya lalu meloncat keluar dari mobil. Si pengendara motor itu turun dari motor langsung menghampiri Lio, "Punya otak nggak di pake ya gini!"

Kebiasaan Lio, setiap ingin pergi keluar rumah yang jaraknya cukup jauh, pasti dia menggunakan kacamata hitam. Alasannya untuk menjaga matanya dari cahaya matahari. Lio membuka kacamatanya dan melihat dua orang remaja. "Kenapa?" Tanya Lio seperti tidak terjadi apa apa, "mau marah? Marah aja,"

"Sebentar deh," Alfi memicingkan matanya menatap Lio lekat lekat, "Lo yang waktu itu jemput Tassia kan?"

"Tassia siapa? Banyak di dunia ini yang namanya Tassia. Dan gue udah macarin 3 orang yang namanya Tassia. Tassia yang lo maksud itu siapa?" Balas Lio. "Sori, gue gada waktu buat debat murahan gini."

"Tassia Devicaly, temen gue." Terobos Fachri yang dari tadi hanya mendengarkan ocehan panjang Lio. "Pasti lo kenal."

"Kalian siapanya dia?" Tanya Lio tajam setelah Fachri menyebutkan nama panjang Tassia. Yang membuat Lio penasaran.

"Kita teman satu organisasi sama dia." Singkat Alfi jutek. Karena dia masih kesal dengan kelakuan Lio yang tadi hampir menjatuhkan dirinya ke aspal halus. "Jawab, lo siapanya Tassia?"

"Di antara kalian berdua ada yang namanya Nico?" Lio malah balik nanya tanpa menjawab pertanyaan Alfi tadi.

"Sori, itu bukan jawaban. Itu pertanyaan." Celetuk Fachri yang mungkin sekarang juga sudah kesal melihat kelakuan Lio yang memang seperti ini jika menemukan orang baru. Apa lagi dengan cowo yang sepantarannya, sifat masa bodo dan keras kepalanya nya langsung keluar. "Lo siapa?"

Lio terkekeh sebentar, "gue sahabatnya Tassia dari kecil." Lio memberi jeda dan menatap mereka satu persatu, "jadi, diantara kalian ada yang namanya Nico Devano?"

"Mas, naro mobilnya jangan nutupin jalan dong!" Oceh pengguna jalan yang terhalang dengan mobil mewah Lio.

"Siapapun kalian, gue tunggu di kafe golden lantai dua. Jam 7 malam!" Teriak Lio dan mereka langsung menyingkirkan kendaraannya dari jalan raya. Jujur, tadi sempat membuat sedikit kemacetan. Sehingga ada juga yang ngomel ngomel.

❄❄❄

Meja paling pojok kafe lantai dua dekat jendela kaca besar yang bisa langsung melihat keramaian sebagian jalan jakarta dari sini. Dua orang remaja yang sedang menunggu seseorang tadi yang sedikit membingungkan. Kafe golden lantai dua, jam tujuh malam. Ya, sekarang sudah lewat dari jam tujuh. Apa mungkin Lio melupakan janjinya? Hanya membuang buang waktu saja, pikir dua lelaki yang sudah memesan secangkir kopi. Dua bungkus rokok sudah terletak di atas meja lengkap dengan asbak. Dua duanya asik menikmati kepulan asap yang langsung hilang terbawa angin.

Beberap kali keduanya bergonta ganti melihat arlojinya masing masing. Memasang wajah tidak peduli di campur kesal setelah mengetahui sekarang sudah jam delapan. Lio hanya bercanda dengan janjinya? Apa Lio mau mengerjai dua remaja yang tadi di serempetnya.

"Bisa bisa lumutan kelamaan nunggu cowok nggak jelas itu." Gerutu Fachri kesal dan sudah dua puntung rokok habis di hisapnya sambil menunggu kedatangan Lio. "Cabut ajalah kalau kayak gini."

"Ini demi Nico, Ri. Lo kalau mau balik, duluan aja. Gue masih mau tau dia itu siapa dan kenapa harus nyuruh kita kesini." Alfi mengepulkan asap putih berbentuk bulat dan terbawa angin.

"Setengah jam kita disini!" Bantah Fachri yang wajahnya sudah berwarna merah padam. Kesal.

"Tuh dia." Tunjuk Alfi menggunakan dagunya ke arah pintu masuk menuju lantai dua. Dan terlihat cowok bertubuh atletis berpakaian santai memegang kunci mobilmya di sebelah kiri.

"Huh, udah lama?" Sapa Lio halus tapi langsung mendapatkan tatapan tajam dari dua orang itu. Langsung saja Lio duduk di bangku yang kososng. "Oh sori sori gue telat."

"Kenapa lo nyuruh kita kesini?" Pertanyaan Fachri sudah malas karena menunggu lama tadi.

"Diantara kalian berdua ada yang namanya Nico kan?" Tatapan Lio di lontarkan satu persatu dan keduanya hanya menggeleng malas. "Nggak ada?! Gue mau minta tolong sama dia."

"Tolong cerita, lo siapanya Tassia?"

"Udah gue bilang, gue itu sahabatnya dia dari kecil. Dan nanti gua ceritain detail setelah gue tau siapa yang namanya Nico Devano." Jawab Lio santai.

"Sori, diantara kita nggak ada yang namanya Nico. Kita temennya dia," sebenarnya Fachri sama sekali tidak pernah menganggap Nico itu temannya. Mungkin dulu lebih ke hubungan persaingan? Ah, itu dulu. Tapi siapa tahu kalau tambah kesini Fachri semakin bisa mengikhlaskan Tassua untuk kakak kelasnya itu.

"Oke, gue butuh bantuan lo bedua juga Nico buat nyenengin Tassia." Lio berusaha jujur untuk bercerita. " ini satu satunya jalan biar bisa buat dia seneng. Ya itu, deketin Nico sama Tassia."

"Kalau Niconya nggak mau?" Ketus Fachri. Karena, dia melihat sendiri bagaimana Nico menyuruh Tassia menjauh. Berarti dalam artian besar, Nico tidak ada keinginan buat memiliki Tassia. "Cinta nggak bisa di paksain,"

"Nah, jadi gimana? Lo masih mau maanfatin kita?" Alfi membuka suara. "Gue tau, lo nggak cuman jadi sahabat. Lo ada rasakan sama Tassia?"

Lio terkekeh, harus dia jujur? Kalau dia di tolak berkali kali dan dengan alasan yang sama hanya untuk sebatas sahabat. "Terserah kalian mau ngeliat gue dari mana. Intinya disini gue minta bantuan kalian, sebagai temannya Nico Nico itu. Gue ada rencana supaya Nico sama Tassia bisa deket." Selanjutnya, Lio memberitahukan rencananya kepada Fachri dan Alfi.

Alfi mendengus setelah mengetahui rencana Lio. "Dan terakhir, kita harus tahu. Nico setuju sama rencana ini atau nggak. Bener kata Fachri, kalau antara Tassia sama Nico yang nggak ada perasaan. Jangan di paksain. Apapun yang dipaksakan pasti nggak bakal berkah."

"Siap, thanks buat kalian yang mau ngebantu rancana gue." Tangan Lio membuka dan memberikan tepukan ala ala lelaki. "Maaf gue harus duluan. Gue ada urusan. Oh iya, nih nomor telpon gue. Nanti kalau ada apa apa, hubungi gue aja."

Dua lelaki itu mengangguk dan Lio langsung berlari kecil keluar dari kafe.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang