30 | Application

3.5K 138 3
                                    

TIGA PULUH
❄❄❄

Hari ini, wajah manis Tassia terlihat lelah dari biasanya. Pelajaran anak IPA memang berat apa lagi kalau dilakukan dengan terpaksa. Di tambah jam istirahat terakhir, apapun kalimat yang keluar dari bibir Alfi tidak ingin Tassia dengar. Informasi tentang pengirim pesan dan cetakan foto jelas di luar ekspetasi harapan Tassia.

Ternyata benar, Harapan memang tidak seharunya diletakan di hati, tapi di genggam.

Kalau saja harapan itu masih digenggam oleh Tassia, pasti kalau Tassia kecewa seperti ini harapan itu akan Tassia remukan oleh tangannya sendiri. Bukan Harapan yang meremukan hatinya.

Goblok juga gue ngeharepin dia. Tassia mengatai dirinya sendiri sambil menendang batu krikil.

Mata hitam Tassia menangkap mobil sedan hitam mengkilap di pekarangan rumahnya, dan... bola mata Tassia hampir keluar melihat Vespa antik yang sangat dia kenal. Tassia tidak mungkin salah, itu milik Fachri.

Kaki jenjang Tassia langsung melangkah cepat saat memasuki perkarangan rumahnya. Masa bodo ada batu terus dia kesandung, yang terpenting sekarang pertanyaan di pikirannya harus tejawab secepatnya. Mobil siapa? Kenapa Fachri ada disini?

Pria paruh baya duduk menunduk di sofa panjang ruang tamu. Tangannya terus memijit keningnya, pusing. Tassia memperhatikan semuanya dan mata pekatnya terhenti pada anak sepantarannya masih menggunakan seragam. Tassia sangat mengenalinya dan itu pemilik Vespa antik di luar sana. Ibu duduk di sebrang sofa yang satunya berdiskusi penting dengan pria paruh baya berpakaian rapih dan berdasi. Tassia rasa orang itu pengacara.

Mata teduh Tassia bertemu dengan tatapan mata Fachri. Mata lelaki itu sedikit memerah sayup. Seperti ada pesan nyata di balik tatapannya itu. Tapi... Tassia nggak tahu sama sekali ada apa ini?

Tassia beralih menatap ibunya.

"Tassia, kamu boleh langsung ke kamar." Suruh ibu yang terlihat sangat sibuk. Namun, Tassia masih diam di tempat. "Tassia, ibu bilang apa?"

Tassia memicingkan matanya. "Hem.. ini ada apa bu?" Pikiran Tassia bercampur apapun itu yang dipikirkan Tassia hari ini sangat membingungkan. Mata pekatnya kembali lagi melirik Fachri yang duduk disebelah lelaki paruh baya berpakaian kemeja.

"Boleh Tassia ngomong sama dia sebentar, bu?" Katanya. Tassia menunjuk Fachri. "Aku kenal."

Sovie tidak perduli dan kembali sibuk berbicara dengan pengacaranya. Tanpa aba aba Tassia langsung menarik keluar Fachri dari rumah Tassia. Mengajaknya menuju Taman komplek yang waktu itu menjadi kenangan terpahit Tassia.

Sunyi, sepi, cemas. Kursi panjang taman menjadi tumpuan mereka. Senja mulai muncul, dan Tassia harap senja muncul membawa kebahagiaan. Tapi setelah dipikir pikir semua harapannya telah gagal. Tassia ragu, ini hal buruk yang akan di dengarnya.

"Lo... ngapain kerumah gue?" Tassia menatap Fachri dengan mata teduhnya, tapi Fachri menunduk bungkam. Bahkan dari tadi Tassia menariknya keluar dia pasrah tidak biasanya memberontak. "Jangan bilang..."

"Maafin bokap gue, cha." Potong Fachri yang terlihat kelopak matanya sudah menjadi bendungan.

Mata Tassia membelalak bingung, "jadi, ibu gue korban dari penipuan bapak lo?"

"Cha plis, jangan marah." Katanya memohon. "Gue nggak tau kalau nyokap lo jadi korban dan... bokap gue nipu nyokap lo ratusan juta. Gue tau dia hampir di penjara, tapi plis cha," Fachri mengambil jeda dan menahan tangisnya. "Jangan penjarain bokap gue."

"Ya," Tassia mulai bingung harus menjawab apa, karena orang yang terlihat senang di luar seperti Fachri ternyata mempunyai banyak masalah. "Gue harus apa? Ibu gue yang megang kendali. Dan kayaknya bokap gue gatau masalah ini."

"Gue minta bantuan lo cha," Fachri mulai meneteskan air matanya. "Cabut penahanan bokap gue. Lo..lo tau nyokap gue kan gimana di rumah sakit? Bokap yang biayain dan... kalaupun bokap di tahan, nasib nyokap gue gimana cha? Gue harap lo bisa bantuin gue."

"Ri," panggil Tassia lembut menahan kedua bahu Fachri dan lagi lagi menatap lelaki itu teduh. "Jangan pernah berharap kalau gue bakal bantuin lo. Yakin. Lo harus yakin kalau gue bisa bantuin lo. Karna apa yang gue rasain, harapan itu jauh dari kenyataan."

Fachri menyeka air matanya. Saat ini dia terlihat lemah payah bahkan lebih payah dari orang lemah. Ada rasa kesal dengan bapaknya tapi di sisi lain Fachri tidak mau bapaknya di tahan karna ia merindukan ibunya sembuh kembali. "Gue.. yakin lo bisa bantuin."

Tassia tersenyum tipis, "gue bakal bantuin sahabat gue sebisa mungkin. Tapi inget, gue hanya bisa bujuk ibu gue karena semuanya di pegang ibu gue. Gue nggak ada hak ikut campur, ri."

"Makasih cha lo emang... sahabat gue
Yang paling baik." Fachri memeluk Tassia erat sampai nafas Tassia sedikit terasa sesak dan akhirnya Tassia memukuli bahu Fachri. Fachri tertawa walaupun sedikit dan melepaskan pelukannya. "Jadi gimana?"

"Gimana apanya kenapa yang bagaimana?" Tanya Tassia, bingung.

Fachri memgalihkan pembicaraan. "Masalah paket yang waktu itu sampai. Udah tau pengirimnya siapa?"

"Anak baru yang pernah berantem sama Hani." Jawabnya malas.

Fachri diam sebentar untuk mengingat ingat wajah orang yang di maksud Tassia. Kejadian Hani berantem. Anak baru. "Lo yakin?"

Tassia mengangguk yakin. "Udah lah nggak usah di bahas. Toh, udah nggak penting jugakan? Terus nggak ada yang harus gue harapkan lagi dari pengirim paket itu."

"Harapan" Ucapnya dramatis. "Suatu hal yang harus lo pegang teguh setiap hari."

"Ya kalau lo kecewa sama harapan lo, tinggal di remukin." Celetuk Tassia. "Harapan gue nggak ada yang sesuai kenyataan."

Fachri menatap mata pekat itu. Tatapan kali ini beda. "Karena lo berharap supaya freezer itu nggak dingin. Kalau lo matiin mesin freezer itu lo bisa ngebuat freezer itu jadi nggak dingin. Lo belum pernah matiin mesin itu."

"Matiin orangnya?"

Fachri berdecak, "berapa sih nilai logika lo?" Katanya. "Hati. Lo belum nyentuh dia sampai hati. Perasaan lo tuh belum sampai."

"Gue berjuang, kenapa belum sampai?" Tassia menjawab dengan malas. "Yaudahlah jangan di bahas lagi, gue udah mundur kok."

"Tuh gimana mau nyentuh hatinya." Ceplos Fachri sedikit kesal.

Di sisi lain, sepasang mata cokelat terang dingin memperhatikan mereka. lelaki tinggi bertubuh atletis dengan wangi Acqua melirik gerakan dua anak muda ini. Perhatiannya terfokuskan setelah berjogging sore di sekitar komplek. Dua remaja yang sangat dia kenal. Hatinya berdenyut sakit tangannya terkepal hebat. Entah apa yang dirasakan Nico, dia... Cemburu.

Nico harus mencari pelampiasan untuk kekesalannya kali ini. Perempuan? Tidak, Nico tidak ingin menjadi Monster es di tahunnya yang ke tujuh belas ini. Dia ingin berubah, tidak ingin menyakiti perempuan lagi.

Kaki proposiaonalnya langsung melangkah menjauh dari tempat menyakitkan itu. Taman komplek. Tidak ingin merasakan hatinya meledak perasaannya hancur dan harapannya menjadi sunyi.

Nico harus mencari tempat Pelampiasan.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang