EMPAT PULUH
❄❄❄Tassia berdiri di depan gerbang hitam yang kemarin pagi di datanginya. Rega menghentikan mesin motor, mereka sama sama menunggu kedatangan si pemilik rumah. Wajah Tassia sudah senang bukan main. Gadis manis itu sesekali tersenyum dan meloncat loncat.
"Senang banget dateng ke rumah Nico doang." Celetuk Rega.
Tassia hanya memberikan cengiran kuda khasnya yang memperlihatkan jejeran gigi rapih milik Tassia. "Melepas rindu."
"Kalian pacaran nggak sih?"
"Tanya Nico aja." Balas Tassia dan langsung tersenyum.
Klik, gerbang hitam besar di depan mereka terbuka. Memperlihatkan pria dengan tubuh sedikit kekar. Usianya bisa ditebak sekitar tiga puluh tahun atau lebih. Pastinya, Tassia tidak mengenal siapa orang yang baru saja membukakan gerbang, bukan Nico.
Tassia sedikit gemetar, apa ini papanya Nico? Tapi kenapa terlihat sedikit masih muda? Tassia melirik Rega yang masih duduk di jok motor dengan santai. Lalu, kembali menaiki motornya dan langsung membawa masuk motornya ke dalam.
"Mr.Nico was in his room." Ucap pria di depannya.
Tassia hanya mengangguk paham melanjutkan perjalanannya masuk ke rumah Nico. Rega telah selesai memarkirkan motornya, menghampiri Tassia.
"Yang tadi namanya Om Lucas." Jawab Rega yang pastinya Tassia bertanya tanya tentang siapa dia. "Gue ikut main ya."
"Kok lo tau?" Tanya Tassia, bingung.
"Gue kan sepupunya." Balas Rega, mereka melangkah menuju kamar di lantai dua. Siapa lagi kalau bukan kamar pemilik dari rumah mewah inu.
Pintu kamar Nico tidak di tutup, Rega langsung menyelonong masuk tanpa basa basi, ya memang mungkin Rega sudah terbiasa ke sini. Tapi disisi lain, Tassia masih berdiri di depan pintu yang terbuka, dia ragu untuk masuk. Berbeda dengan tingkah lakunya yang tadi di depan gerbang.
Rasanya, kaki Tassia sangat sulit untuk melangkah maju. Dia tidak berani. Padahal hatinya memberontak supaya bisa bertemu dengan Nico.
Rega menghampirinya dengan wajah yang datar. Berbeda dengan dua tiga menit sembelum dia masuk kamar ini.
"Eee... lo istirahat di rumah aja mendingan." Suruh Rega seperti ada yang mencurigakan.
"Gue mau main ke sini. Mau ketemu Nico." Desak Tassia tiba tiba. "Kenapa nyuruh gue pulang?"
"Kayaknya nggak tepat deh, lusa aja kita ke sini lagi."
Tassia menautkan kedua alisnya, bingung. Kenapa tiba tiba Rega menyuruhnya pulang, padahal Rega sendiri juga ingin main dengan Nico.
"Gue maunya sekarang." Balas Tassia.
"Yaudah yaudah masuk." Rega kalah dengan sifat egois Tassia. Mau tidak mau dia harus membiarkan Tassia masuk. "Awas aja kalau kenapa kenapa."
"Jadi sok perhatian gini deh, Ga." Ucap Tassia seraya melangkah masuk kedalam kamar bernuansa abu abu.
Wangi acqua langsung mengelitik hidung Tassia. Tassia sangat suka dengan wangi ini, apa lagi kalau Nico yang memakainya. Ruangan dengan cat abu abu menonjolkan kesan Nico yang dingin. Apalagi tidak terlalu banyak furniture yang mengisi ruangan ini.
Mata Tassia terpaku dengan sosok lelaki yang berada di atas kasur dalam keadaan sepertinya kurang baik. Dengan gerakan seribu langkah, cepat cepat Tassia menghampiri Nico yang sedang asik membaca novel terjemahan.
Mata Tassia tak henti hentinya melihat keadaan Nico terbaring diatas kasur. Sama seperti apa yang Tassia lihat tempo hari dan dua orang ini adalah yang Tassia lihat. Rega dengan amplop coklatnya dan Nico, orang asing dengan masker lengkap dengan lebam di sekitar matanya. Persis, Tassia melihat wajah Nico seperti itu, dengan lebam dan luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Senior✔
Teen Fiction[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu bertolak belakang. Tassia menyukai keramaian, heboh dengan dirinya sendiri, selalu punya teman bany...