Dia selalu menang dalam urusan berlari. Berlari menjauh, pergi, dan hilang.
Apa dia tidak memikirkan aku?
Bagaimana dulu aku bisa mencintainya?
-aku, Tassia.
ENAM PULUH ENAM
❄❄❄Susasana di ruangan luas ini cukup menegangkan. Jejeran buku yang tersusun rapih di rak seolah tidak bisa menghilangkan dinginnya ruangan ini. Detikan jarum jam yang berputar ke kanan seolah belum bisa meramaikan suasana ruang kerja ini.
Acara ulang tahun Nico Devano telah usai, kini hanya ada semilir angin yang menggantikan keramaian di luar sana.
Nico duduk dengan menundukan kepalanya menatap marmer krem yang memberi nuansa tenang. Sudah berkali kali lelaki ini menghela napas gusar, pasalnya baru saja ia memeluk kehangatan Rianto, tapi kini kembali lagi menjadi dingin.
Tassia duduk dengan manis dan sopan. Tidak terlewatkan jantungnya yang berdetak lebih keras dari biasanya. Rianto dan Nico bersama Tassia berada di dalam satu ruangan. Tassia berkali kali melontarkan senyum tipisnya. Berharap kalau ini bukan bertanda buruk.
"Om lanjutkan saja pembicaraan om ya, Tassia." ucap Rianto dengan tampang wibawanya yang amat jelas.
Tassia mengangguk sopan.
"Maksud Om, manggil kamu sama Nico kesini karna Om mau kenal dengan perempuan yang berhasil membuat Vano jadi..." Rianto melirik Nico yang masih menunduk. "Jadi anak yang pemaaf."
"Sekalian ada sesuatu yang mau Om kasih tau tentang Vano."
"Baik Om," Tassia menurut dan terus bersifat sopan dihadapan Rianto.
"Vano masih dalam masa check up jantungnya, anak ini perlu setiap minggunya ke rumah sakit untuk mengontrol perkembangan jantung ibunya. Pasti kamu sudah tau kalau persoalan ini, Om harap, kamu.. Bisa menjaga Vano dengan baik seperti Vina, ibunya Vano." Rianto mengucapkannya dengan penuh hati hati takut putranya tersinggung.
Nico perlahan mengangkat kepalanya menatap pria paruh baya yang duduk dihadapannya. Rianto benar, Nico tidak merasa tersinggung sama sekali. Setiap kata yang Rianto ucapkan itu benar.
"Terlebih, orang tua mana yang tidak ingin anaknya sukses. Karna Vano berada disini, jadi Om putuskan Vano akan kembali Ke Jerman setelah lulus sekolah nanti."
"Pa--" ucap Nico terkejut, Rianto langsung bilang dihadapan Tassia tidak mendiskusikan ini dengan Nico terlebih dahulu.
Rianto mengalihkan pandangannya lagi ke putra bungsunya. "Vano.."
"Pa, papa janji nggak nyuruh saya ke Jerman lagikan?"
"Nico." ucap Tassia pelan menenangkan kembali Nico. Matanya melihat ke Rianto, walaupun hatinya terluka lagi tapi ini keputusan yang harus Tassia terima. Masih ada waktu ia bersama dengan Nico. "Om, kalau boleh saya tau, apa Nico akan kembali lagi ke Jakarta?"
"Kalau kamu mau menunggu ya nggak apa. Mungkin setelah enam tahun Vano baru kembali lagi ke Jakarta."
Nico melirik Tassia. Ada kesedihan yang bisa Nico baca di garis wajah Tassia saat ini. Tapi gadis itu sukses menutupi agar tidak meneteskan air matanya. "Kamu kuat?"
"Entah, harus kuat." ucap Tassia pelan. Ia kembali lagi melihat ke arah Rianto. "Nggak apa Om, setelah lulus Tassia juga ingin mencari kesibukan lainnya, Tassia juga mau masuk perguruan tinggi di luar negeri." ia tersenyum.
![](https://img.wattpad.com/cover/96208080-288-k337293.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Senior✔
Teen Fiction[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu bertolak belakang. Tassia menyukai keramaian, heboh dengan dirinya sendiri, selalu punya teman bany...