Siapa aku? Aku melupakan diriku sendiri, ketika tahu dirinya terluka.
LIMA PULUH LIMA
❄❄❄Nico membanting tubuhnya diatas sofa ruang tamu rumahnya. Sudah dua jam berlalu sejak pulang sekolah tadi, tapi Nico baru sampai di rumah. Bukan karna jarak sekolah kerumah Nico jauh, tapi cowok dingin itu hanya betah di ruang kesehatan sampai semua murid pulang.
Merenggangkan semua ototnya, sesekali Nico meringis kesakitan akibat tinjuan Angga yang berkali kali di sekitar perut dan pipinya. Walapun Nico yang memulai perkelahian, tapi cowok dingin ini sama sekali tidak melawan tinjuan dari Angga. Nico tidak ingin sama sekali dirinya di coret buruk di sekolahan.
"Nah ini dia yang ditunggu baru balik," sapa Fachri seraya menuruni anak tangga, ia keluar dari kamar yang berada di samping kamar Nico. "Abis dari mana lo?"
Tidak memggubris perkataang Fachri tadi, nafas Nico masih tidak beraturan. Ia bisa kalap dengan siapa saja, dan menjadi bukan seperti Nico Devano yang dingin. Emosi Nico bercampur di pikirannya, ia kesal dan marah terhadap dirinya sendiri.
Ucapan Angga terus berputar putar di pikiran Nico, membuat cowok dingin itu merasa amarahnya sudah berada di ujung kepala. Dari pada ia menyahuti omongannya Fachri lebih baik ia masuk kedalam kamar dan melupakan semua kejadian tadi, itupun kalau bisa.
Dengan seragam yang sudah berantakan. Nico terlihat seperti cowok kacau, padahal itu bukan Nico sama sekali. Cowok itu menyampirkan tasnya di salah satu bahu, mendorong sedikit Fachri yang menghalangi jalannya.
"Jangan kekamar, kalau lo mau kalap sekarang!" teriak Fachri yang sepertinya memang sudah membaca gerak gerik Nico sejak tadi.
"Suka suka gue, apa masalahnya sama lo?" tanya Nico tanpa memutar arah pandangnya ke Fachri. Ia melanjutkan lagi langkahnya menuju kamar di lantai dua.
Fachri sendiri tidak yakin kalau Nico bisa menahan emosinya. Cowok berambut spike itu tahu apa yang ada di dalam kamar, toh memang gadis itu yang memaksa dirinya untuk mampir ke rumah Nico. Sejak awal Fachri mengantar Tassia pulang, gadis manis itu menolak untuk kembali kerumah, Tassia malah memaksa Fachri agar mengizinkannya ke rumah Nico sebentar. Ya, di dalam kamar Nico ada Tassia yang entah sedang apa disana, sampai betah di dalam kamar Nico sendiri.
Bi warsih menghampiri Fachri yang masih memandangi pundak Nico yang lama kelamaan menjauh dari pandangannya.
"Aduh Fachri, itu den Nico kenapa lagi mukanya? Kok biru biru gitu?" ucap Bi Warsih panik seperti ini lagi.
"Saya juga nggak tau bi," balas Fachri yang juga melihat lebam di bagian wajah Nico tadi. "Tassia udah di kasih minum, Bi?"
"Udah tadi sebelum den Nico datang." kata wanita paruhbaya disamping Fachri.
"Tadi Tassia lagi ngapain?"
"Lagi duduk di balkon kamar den Nico. Sama baca buku." papar Bi Warsih. "Yaudah bibi keluar dulu ya sebentar, mau beli obat buat luka, soalnya udah abis."
Fachri mengangguk untuk Bi Warsih pergi. Ia melanjutkan kegiatannya untuk sekedar menonton televisi di ruang yang lain. Semenjak Fachri tinggal disini, Nico memperbolehkan Fachri masuk dan menggunakan barang sesukanya kecuali masuk kekamar Nico.
Nico membuka pintu kamarnya, ia masuk dengan wajah berantakan dan tampilan berantakan tanpa tahu di dalam kamarnya sedang ada gadis manis yang masih menunggu. Mata Nico berhasil menemukan rambut kuncir kuda yang berada di balkon kamarnya. Sudah bisa di tebak, itu gadisnya.
"Kamu ngapain disini?" tanya Nico tanpa sapaan yang manis. Cowok dingin itu meletakan tasnya di atas kursi belajar.
Tassia sendiri juga terkejut dengan kedatangan Nico tiba tiba, "gue khawatir." ucap Tassia sambil membereskan novelnya yang berada di atas meja ke dalam tas kembali, belum ada kontak mata diantara mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Senior✔
Teen Fiction[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu bertolak belakang. Tassia menyukai keramaian, heboh dengan dirinya sendiri, selalu punya teman bany...