Jika sudah tidak bisa bersama. Jangan dipaksa. Hati dan waktu tidak bisa disusun kembali. Terimakasih.
ENAM PULUH DUA
❄❄❄Suasana ramai sekolah kembali menghadap diri gadis manis berkuncir kuda, ia kehilangan hampir satu bulan pelajarannya. Kabar baiknya, Tassia boleh melanjutkan pelajarannya lagi. Walaupun sekolah seninya di hentikan di jogja karna insiden kecelakaan tempo hari lamanya.
Seperti anak kecil, dua sahabatnya berlari dari kejauhan meregangkan tangannya dan berteriak keras. Tassia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan temannya. "Yaampun, nggak ada berubahanya."
Hani meneriakinya sejak awal bertemu. "Demi anak dugong main di kali, gue kangen sama lo cha!" gadis cerewet itu memeluk Tassia dengan erat.
Tassia merangkul kedua temannya dan melangkah bersama ke kelas. Suasana kelas yang hangat menjadi penyambut kedatangan Tassia. Fachri yang sedang duduk di sudut kelas merangkul mesra tas yang tanpa isi, telinganya sibuk tersumpal dengan aerphone dan kepala yang di tenggelamkan di pelukan tas. Fachri tidak ada berubahnya sejak mereka pertama kali bertemu. Tassia tersenyum, mengingat bagaimana lelaki di pojok sana tinggal di rumah sosok lelaki yang dingin.
Langkahnya terhenti saat seikat babybreath berada di atas meja yang telah lama tidak Tassia tempati. Meja itu miliknya dan bunga itu bukan kepunyaannya. Lalu siapa?
Tassia melirik ke dua temannya. "Bukan kerjaan kalian kan beliin gue bunga?"
"Ya nggak lah, i dont have money." sahut Hani tanpa berhenti melangkah.
Dareen yang masih duduk tanpa ada rasa ngantuk itu angkat suara. "Tadi pacar lo kesini, cha. Pagi banget."
"Ngapain?" Vanny mengangkat satu alisnya, ia mewakili Tassia yang masih mematung.
"Nih nganterin bocah bawang." Dareen menunjuk Fachri yang tertidur pulas di bangku sebelahnya. "Sama ngasih lo ini."
Dareen menyodorkan satu kotak bekal lengkap dengan susu kotak rasa coklat kesukaan Tassia. Gadis manis itu tahu benar kalau semua ini dari Nico.
Bukan lagi Tassia yang dulu. Gadis ini menjadi lebih tidak peduli dengan apapun yang berhubungan dengan Nico.
"Buat lo aja. Belom nyarap kan lo?" ucap Tassia melanjutkan langkahnya menuju meja Vanny. Ia tidak mau ke mejanya yang masih ada seikat bunga.
"Seengaknya lo terima dulu, cha." sahut Fachri yang terbangun dari tidur nyenyaknya. Matanya masih setengah terbuka. "Lo kenapa sih?"
"Gue.." ucapan Tassia terpotong karena bel masuk telah terdengar, dan pelajaran olahraga menjadi pembuka hari ini. "Nggak ikut olahraga," pandangannya terlontarkan untuk Vanny dan Hani.
Fachri berdesis, pasalnya pertanyaan tadi tidak di jawab oleh Tassia.
Vanny dan Hani mengacungkan jempolnya dan berhubung mereka sudah memakai baju olahraga, jadi mereka menyegerakan diri untuk turun ke lapangan, sebelum suara pluit mematikan terdengar.
Suasana kelas sunyi, semua murid melaksanakan pelajaran olahraga dilapangan. Hanya Tassia yang berada di kelas. Ia memainkan ppnselnya dengab bosan. Bekas kecelakaan tempo hari membuat ia vakum masalah olahraga.
Lelaki dari luar kelas berjalan masuk ke dalam kelas seraya mengibas ngibaskan bajunya. Keringatnya bercucuran deras.
"Lo nggak taukan gimana perasaan Nico pas lo bilang udahan?" ucap Fachri langsung di poin pembicaraan. Fachri mendekat dan duduk di kursi depan Tasssia. Kepala Tassia terangkat, dan menemukan Fachri yang sudah berada di hadapannya. "Gue tau dia cowok dingin, tapi seenggaknya lo nggak jadi cewek cuek gini, cha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Senior✔
Teen Fiction[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu bertolak belakang. Tassia menyukai keramaian, heboh dengan dirinya sendiri, selalu punya teman bany...