17 | Late

5K 192 0
                                    

TUJUH BELAS
❄❄❄

Semilir angin malam sudah menyelimutiku kami berdua di atap rumah sakit. Suara bising terdengar dari keramaian jalan protokol ibu kota di bawah sana, seperti jam jam sibuk biasanya. Dari sini hanya terlihat seperi kunang kunang yang merayap mencari kebebasan. Hanya lampu berwarna kuning dan putih mengisi jalan jauh di bawah sana. Tinggi rumah sakit ini tiga puluh lantai dan kami berada di puncak. Ya, sekarang aku berada di sini menikmati satu gagang es krim yang tadi di belikan oleh Fachri setelah menjenguk ibunya.

Aku menoleh ke arah remaja yang sama asiknya dengan aku menjilati es krim rasa coklat. Es krimku habis duluan, dan mungkin memang aku yang harus memulai pembicaraan dengan lelaki yang membuatku kesal. Selalu. Aku membenarkan posisi duduku di besi besi berbentung seperti paralon kira kira berdiameter tigapuluh dua centi, sehingga dapat membuatku duduk lebih luasa di sini.

"kayaknya gue menang kalau soal es krim," aku membuang stik es krim tadi ke sembarang tempat, sebaiknya jangan di tiru prilaku buruk ini. Huh. "lo hutang cerita sama gue, ri!"

"sebentar, es krim gue belum habis."

Persetan dengan kambing bandot sebelahku ini. Demi apapun dia menyebalkan. Bahkan sekarang mulutnya berlumeran es krim coklat seperti anak kecil berumur tiga tahun. Aku memcari tissue yang selalu ada di dalam tas sekolahku. Dan memberikan tissue itu kepada Fachri.

"elap mulut lo. Gue jijik," pekikku menggidik. Lalu Fachri cepat meraih tissue yang aku berikan dan langsung mengelap es krim yang lumer di mulutnya. Sama denganku, lagi lagi stik es krimnya di buang ke sembarang arah. Tidak patut di contoh.

"jadi, dari mana kita mulai?" Fachri menarik nafas dan menghembuskan kembali bersama udara dingin yang sekarang menuju langit yang mulai redup. "perjanjian, setiap kali gue cerita. Jangan pernah motong omongan gue. Paham?"

Aku mengangguk.

"yang tadi itu, lo tau. Dia nyokap gue, gue gak tau selama ini nyokap sakit apa. Yang tau cuman bokap dan mba yulia tadi adik dari nyokap gue. Ah, itu rahasia mungkin gue juga belom perlu tau nyokap gue sakit apa sampai harus di rawat selama dua tahun belakangan ini... Tassia, gue bilang apa? Jangan motong omongan gue."

Bibir Tassia yang tadinya terbuka, sekarang tertutup lagi. Kembali mendengarkan cerita milik Fachri.

"Maaf, sebelumnya tadi gua nggak minta izin dulu ke lo kalau gue pengen megang tangan lo. Gue lemah, gue butuh pondasi biar gue gak kelihatan payah. Tadi gue sempet pengen bilang lo 'pacar' gue," aku melotot ke arahnya, "dengerin dulu bodoh, setelah gue pikir pikir. Lo udah nolak gue dua kali. Dan akhirnya gue kenalin lo le nyokap sebagai sahabat gue."

Aku menghela napas lega,

"nyokap gue seneng banget sama anak perempuan. Tapi dia malah punya anak laki yang bandel kayak gue. Dulu nyokap pernah ngomong ke gue, kalau gue besar nanti usahain punya temen deket perempuan dan kenalin sama nyokap. Tapi sebelum gue kenal lo, gue sama sekali gak punya temen perempuan yang bisa gue kenalin."

"kan banyak yang suka sama lo, kenapa gak di jadiin sahabat aja?" kali ini aku keceplosan memotong. Dan mendapati tatapan dingin Fachri.

"Tassia,"

"oke gue diam," aku menghela nafas dan menatap langit lagi seraya mendengarkan cerita dari anak keras kepala ini.

"banyak yang suka sama gue," sumpah kali ini dia terlalu pede. "gue ngejauh dari mereka semua, ah ya mereka centil gue gak suka. Dan sebelum gue dapat sahabat kayak lo. Gak ada yang cocok gue kenalin kenyokap gue, lo doang. Niatnya gue pengen gandeng lo ke depan nyokap dan bokap sebagai pacar. Tapi lo bikin gue patah hati, bayangin dua kali. yaudah jadi sahabat aja."

Suasana lenggang beberapa detik,

"lo gak mau ngomong gitu?" celetuk Fachri di sela sela angin yang semakin dingin.

"gue ngomong salah, gak ngomong di tanyain." rengek ku.

"sekarang giliran lo nanya,"

"segitu kepengennya nyokap lo, punya anak perempuan?" Fachri mengangguk semangat.

"sebenernya gue punya kakak perempuan. Dan nyokap keguguran pas mengandung kakak gue. Setelah selang beberapa tahun, baru lahirlah gue," Fachri turun dari besi yang tadi kami duduki dan memberikan tangannya untuk bantuanku. Btw, ribet aku masih memakai rok sekolah. "Kapan kapan lo gue ajak ke sini lagi, mau?"

Aku mengangguk bersemangat,

"Oh ya, tadi keadaan lagi gawat, nyokap gue kondisinya menurun. jadinya gue ngajak lo cuman mau ngemastiin hati nyokap gue baik baik aja. Gue harap pas gue jenguk nyokap kali ini sama lo nyokap bisa ngerasaanin pakai indra perabanya dan pendengarannya. Kalau gue bisa punya sahabat cewe, Walaupun matanya masih berat buat kebuka. Gue yakin nyokap ngerasaain."

"bokap lo kemana? Tadi gak keliatan?" tanyaku singkat tapi sukses membuat angin malam antara aku dan Fachri semakin terasa lebih mencekik. "Fachri?"

"huh, orang tua itu di penjara kemarin. Masalah penipuan, dan bokap gue nipu cewe ratusan juta buat biaya rumah sakit nyokap. Katanya sih gitu." Fachri menyeka pipinya yang sudah di basuh setetes air mata. Dan tersenyum tipis. "udah jam tujuh, gue takut lo di cariin nyokap atau bokap lo."

Aku melotot dan melihat pergelangan tangan kiriku. Benar saja, jarum pendek arlojiku sudah menunjuk ke angka tujuh. Itu berarti aku sudah lama bersama Fachri, dan ka Nico juga sudah lama menunggu di Taman komplek. Kenapa aku sampai lupa? Semua karena es krim sialan.

Jelas, aku terlihat panik.

"lo kenapa?" tanya Fachri heran melihatku seperti orang linglung. "Nico?"

"anterin gue sekarang. Buruan!!!" pekikku di tambah panik tidak karuhan dan keringat yang sekarang menetes di keningku padahal banyak angin di atas sini.

❄❄❄

Nico, remaja yang hampir menginjak umur tujuh belas tahun itu duduk di taman komplek tempat tinggalnya. Ini sangat menyebalkan bagi dia, menunggu orang yang semenjak dua jam lalu tidak ada kabarnya. Mau di apakan seikat bunga mawar putih sekarang dengan tulisan ungkapan perasaan.

Yang kalian tahu, Nico akan menanyakan apakan Tassia menyukainya. Kalau benar terbukti Tassia memyukai Nico, dengan cepat Nico langsung menjadikannya kekasih setelah tempo hari dia putus dari Maya.

Namun, fikiran Nico berpusat pada kebodohan dan hanya khayalannya saja. Siapa juga yang mau menyukai monster es seperti dia yang terkenal sebagai cowo yang suka nyakitin hati perempuan. Tadinya dia yakin bahwa Tassia yang benar benar menyukainya sampai rela berjuang walaupun Nico masih memiliki Maya waktu itu.

Sekarang terjawabkan, Tassia tidak menyukainya. Seikat bunga mawar putih ke sukaannya di buang begitu saja di tempat sampah taman komplek. Tapi, dia harus menunggu lima menit lagi kalau Tassia juga tidak datang. Nico akan meninggalkan tempat ini tanpa kata kata apapun.

Rahangnya yang kokoh, geram. Giginya menggerutuk. Rambutnya yang badai bertaruh dengan angin di tengah Taman. Daun taman yang dia perhatikan satu persatu jatuh ke tanah berlapisi rumput hijau. Kursi di sebelahnya kosong melompong. Seolah sekenario tebaik, ini berhasil membuat remuk hati monster es hancur. Kastil esnya bukan meleleh oleh Tassia, tapi Tassia berhasil meruntuhkan kastil itu.

Mata Nico manangkap gadis berlari dengan kuncir kuda yang berayun gemas. Mendekatinya lalu diam berdiri sambil menunduk. Satu yang berhasil mencuri perhatian Nico, Tassia datang bersama Fachri.

Akhirnya yang di tunggu tunggu datang, tapi maaf waktu tidak bisa kembali berdetik ke kiri.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang