58 | Pertaruhan

2.1K 90 8
                                    

Entah hilang kemana, dirinya masih saja menyisahkan luka kekhawatiran akan kabar. Aku merindukan ke tenangan saat memandang iris cokelat terang pada matanya. Saat ini.

LIMA PULUH DELAPAN
❄❄❄

"Sampai rumah langsung cuci kaki, cuci muka, gosok gigi. Langsung tidur, kalau ada yang nge-chat macem macem karna lo anak baru, apa lagi dari cewek, jangan di bales!" celoteh untuk malam ini dari gadis manis berkucir kuda yang masih berada di sampingnya. Mengulas senyum indah di wajah manisnya

Nico terdiam, sebenarnya dalam hati, ia sangat berterimakasih kepada Sang Maha Kuasa, hari ini, sebelumnya bahkan seterusnya, semoga ia masih bersama gadisnya. Ia tersenyun dalam hati membalas senyum indah yang mungkin sedang dipamerkan di hadapannya sekarang.

"Ih kalau dibilangin jawab iya kek, apa kek, jangan diam aja gitu!" celoteh Tassia yang berubah menjadi makian.

"Iya iya," jawab Nico singkat, dilengkapi senyum yang sangat jarang Nico pamerkan. "Yaudah masuk sana ke rumah, selamat malam."

Tassia masih cemberut tak karuhan, tapi ia tetap saja bisa luluh hanya karna senyuman Nico, yang bukan main menawan. "Besok pagi gue ke sekolah dulu, baru ke stasiun."

"Terus?"

"Ya anterin lah! Ish." Tassia berdecak kesal, padahal sudah tau pacarnya ini susah sekali kenal dengan kata 'kode'.

"Yaudah iya, sana masuk buruan, nanti di culik om om" ledek Nico, padahal ada kecemasan dalam dirinya untuk malam ini.

"Kalau Om Rianto, nggak apa kan?"

"Itu papa saya, cha. Mau ngapain nyulik kamu?"

Tassia memamerkan jejeran gigi rapihnya. "Mau dijadikan menantu, mungkin?"

"Ya, terserah kamu deh."

"Nggak ada romantis romantisnya."

Dari tadi saku celana Nico terus bergetar tanpa henti, sangat yakin kalau yang ini panggilan masuk dari Angga. "Selamat malam, my gurl."

"Iya iya, selamat malam." pamit Tassia seraya keluar dari mobil Nico, dan melambai manis di depan kaca menunggu kepergian mobil Nico.

Cowo dingin itu langsung menancap gasnya dengan sangat ganas, ia terlalu terbawa emosi sejak Angga menelpon di rumah sakit tadi.

Tassia yang sudah mengenali gerak Nico yang sangat berbeda itu dari tadi, ia merasa memang ada yang salah dari Nico sejak pulang dari Bandung, dan sejak Nico bertemu dengan Angga kembali. Banyak cemasnya, tetap saja Tassia yang berdarah Indonesia asli tidak bisa mengerti campuran orang Jerman tadi.

Seraya masuk, Tassia terus menghubungi Fachri walaupun Tassia tau, Nico melarang Tassia untuk bertukar pesan dengan Fachri.

Tassia : Ri, kalau Nico udah sampai rumah kasih tau gue!

Iya iya, santai dong. : Fachri

Sesampainya di kamar miliknya, Tassia bergegas mengganti baju. Malam ini, Tassia tidak bisa langsung tidur. Langkahnya terus bolak balik dengan cemas, ia sangat menghawatirkan Nico kali ini.

Satu panggilan masuk. Ponselnya cukup mengeluarkan nada dering dengan suara yang keras. Tassia langsung meraih ponsel yang tadi sempat ia tarus di sembarang.

Nico Devano...

Tassia mengangkat telpon dari Nico, padahal ia menunggu panggilan dari Fachri.

"Langsung tidur Tassia, besok kamu harus ke Jogja" serobot lelaki dingin itu dari sebrang telpon saat panggilannya terjawab.

"Iya, ini juga mau tidur," Tassia menggantungkan ucapannya. "Lo udah sanpai rumah?"

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang