"I still love you."
ENAM PULUH DELAPAN
❄❄❄Suasana gemuruh menampar gadis itu yang berjalan menyukai hening. Entah, yang ia pikirkan hanya untuk berdiam diri dan terus memohon agar waktu berhenti saja tidak usah menerbangkan Nico ke negara orang lain. Hanya saja kenyataan menamparnya sangat keras. Dua hari lagi lelaki itu akan pergi dan gadis manis ini harus menunggu selama dua tahun lebih? Atau mungkin hanya keberuntungan yang bisa melihat Nico kembali.
Matanya terus mengabsen apa yang ada di diri lelaki itu, tak satupun yang terlewatkan. Nico memang begitu indah. Sampai sampai Tassia menghela napas panjang dan berpikir, Seindah ini lelaki yang sering menyakitinya?
Tak henti hentinya gadis itu mengangkat kelopak matanya dan melihat sampai ke sudut gerakan Nico. Ia duduk di atas kasur dan mendapati Nico yang sedang berkemas beberapa barang ke dalam koper yang harus ia bawa ke Jerman.
Jika mengulang masa lalu, yang dipikiran Tassia hanya ada segaris luka yang tak pernah terlupakan. Di tubuh Nico luka itu ada dan sangat menandakan betapa rapatnya Nico menyimpan luka. Bisa di bayangkan sekarang, siapa yang lebih kuat?
Bicara soal siapa yang kuat, seharusnya Tassia bilang lebih awal kalau dirinya sama sekali tidak kuat dengan perjanjian dengan Rianto tempo hari. Begitu lelah yang ia rasakan.
Mungkin kehidupannya akan berubah, tapi kalau urusan perasaan? Tassia tidak bisa menjaminnya.
Kakinya menggantung, dan bergerak gerak bergantian. Senyumnya manis.
Nico menutup kopernya. Lalu duduk di atas karpet abu abu dan membalas tatapan Tassia yang dari tadi ia rasakan. "Saya udah bilang, kamu nggak usah kesini."
Tassia meenggelengkan kepalanya dan menunduk. "Aku kangen."
Suara Tassia terdengar lebih tulus dari biasanya. Ia lebih halus karna malam itu ia berjanji akan mengubah aksen biacaranya, ya walau seratus persen masih belum terbiasa. Toh kalau di rumahnya sendiri juga lebih asik berbicara seperti ini.
Gadis itu mengumpatkan wajahnya dengan melihat ke arah kakinya yang masih mengayun bergantian.
Terdengar dari telinga Tassia, Nico menghela napas begitu panjang. Lelaki itu tidak bangun dari posisinya, malah melemparkan se-cup es krim coklat yang entah datang dari mana. "Lagi bete mbaknya?"
"Lagian ngapain nyuruh aku nggak boleh dateng kesini?" suaranya meninggi. Tidak seperti awal bicara. Tassia melahap es krim coklat.
Nico berdiri dari posisinya. Kakinya ia langkahkan menuju pintu. Menutup rapat dan menguncinya dengan baik. Memutarkan tubuhnya kembali dan mendapati ekspresi Tassia yang menatapnya aneh.
Satu langkah Nico sangat diragukan Tassia. Gadis itu berlari menuju balkon kamar Nico. Ya, seharusnya Tassia tidak usah kesini, sama aja masuk ke dalam kandang singa yang sedang kelaparan.
Ingin mengutuk dirinya sendiri. Tassia diam dan melihat bagaimana senyum jahil Nico ditambah langkah kaki yang semakin mendekat.
"Sekali lagi ngelangkah, aku ngadu ke om Lucas!" ini peringatan, tapi tidak mengendurkan langkah Nico.
Terus menambah langkah sampai akhirnya berada di hadapan Tassia.
Nico menyilangkan tangannya di depan dada, mengangkat wajahnya dan melihat kelain arah. "Siapa suruh kesini?"
"Tapi nggak kayak gini juga dong!"
"Emangnya yang kamu maksud, kayak gimana?" Nico menyondongkan sedikit tubuhnya, mendekati Tassia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Senior✔
Ficção Adolescente[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu bertolak belakang. Tassia menyukai keramaian, heboh dengan dirinya sendiri, selalu punya teman bany...