EMPAT PULUH TIGA
❄❄❄Bandar udara internasional Berlin, Jerman. Siang ini menuju petang, lelaki dengan menggunakan kemeja biru tua berjalan keluar mencari namanya. Papan nama bertuliskan Nico Devano, tertulis besar dan Nico dapat membacanya dengan jelas walaupun masih menggunakan kaca mata hitam.
Lelaki itu menyambutnya dengan senyuman hormat. Nico hanya membalasnya dingin sambil melepaskan kaca mata hitam yang tadi berjengger di hidung mancungnya.
Nico mendengar, melihat ke belakang tubuhnya, masih terlihat jelas gedung luas yang terkenal di Berlin. Nico mengusap wajahnya kasar. Ia langsung memberi kopernya kepada asisten barunya ini.
"Can you speak Indonesia?" Tanya Nico dengan suara datar dan sikap dinginnya.
"saya bisa." balas asisten baru Nico dengan sopan.
Nico menghela napasnya kasar dan langsung masuk kedalaman mobil yang telah di sediakan.
❄❄❄
jangan lupa ya ka, nanti gue mau ke pameran lukisan di pusat. Kita pergi kesana ya, temani gue. : me
Jarum panjang di arloji manis Tassia terus berdetak ke kanan. Berkali-kali Tassia melihat dan jarum pendek, sudah lebih dari dua jam ia hanya menonton film di televisi. Tidak ada sama sekali bunyi ponsel yang biasanya selalu membuat Tassia bisa melukiskan senyum manis di wajahnya.
Mulutnya sibuk mengunyak beberapa makanan ringan yang memang wajib di sediakan. Tassia kembali mengecek ponselnya yang sangat seperti benda mati tanpa suara. Ia mendengus kesal, lalu melemparkan ponselnya kesembarang arah.
"oke hari ini gue nggak jadi ke pameran." Tassia tersenyum dengan penuh paksaan dan kembali lagi mengganti beberapa chanel televisi.
Sovie mendekati Tassia yang sedang asik menikmati hari minggu dengan menonton acara televisi. "cha, kamu beli kue?"
"nggak, itu di kasih sama ka Nico." jawab Tassia malas.
"Nico yang pernah kesini?" Tanya Sovie lebih mendekati Tassia yang masih duduk di sofa ruang televisi.
Tassia menoleh ke arah Sovie. "iya, bu"
Sovie menatap Tassia lekat lekat, "anak ibu lagi bete ya?"
Tassia hanya diam menyibukkan diri kembali menonton.
"kamu katanya mau ke pameran hari ini. Jadi?" Tanya Sovie.
"bu, tukang ojek ya nggak ngabarin." balas Tassia malas. Ia Merauk banyak makanan ringan yang ada di hadapan Tassia dan dilahap habis. "acha kesel."
"kenapa?" Sovie mengambil makanan ringan yang ada di tangan Tassia.
"ya kesel aja."
Drrrt sering ponsel menghentikan obrolan mereka berdua. Tassia sempat diam, mendengar lebih pekat suara dari ponsel siapa. Ia baru ingat kalau tadi ponselnya sempat ia lempar ke sembarang. Sekarang dengan cepat dan panik bercampur senang, Tassia kepanasan mencari ponselnya yang belum juga terlihat.
Ia mengikuti sumber suara dari ponselnya itu. Ini nada panggilan masuk, Tassia senang mendengar suara ini.
"bu, hape Tassia di didudukin ibu." Tassia langsung menggeser posisi duduk Sovie dan dengan cepat tangannya langsung meraih ponselnya lalu kabur menjauh dari ruang televisi, agar pembicaraannya tidak di dengar oleh Sovie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Senior✔
Teen Fiction[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu bertolak belakang. Tassia menyukai keramaian, heboh dengan dirinya sendiri, selalu punya teman bany...