21 | Ada orang lain?

4.8K 178 0
                                    

"hati lo sebeku apa sih? Tassia itu sudah memperjuangkan hatinya demi sebuah perasaan yang membeku dan tidak kunjung meleleh oleh kehangatan," Alfi berekspresi seperti seorang puitis berpengalaman. -Alfi

DUA PULUH SATU
❄❄❄

"Nah, jadi gitu koh ceritanya." Alfi sudah berada di rumah Nico setelah sebelumnya memberi kabar. Asik menjelaskan apa yang dia lihat tadi di depan gerbang sekolah yang sempat menghebohkan dirinya sendiri. Kelihatannya, Nico masih tetap dengan sifat dinginnya. Diam tanpa memberikan reaksi apapun setelah mendengar cerita Alfi tadi.

"terus apa yang mau lo tanyain?" Nico beranjak dari kasurnya dan memilih duduk di kursi belajar miliknya. "nggak pernah peduli gue sama cewe itu."

"ah yang bener? Tapi, tadi pas gue cerita keliatannya lo penasaran banget sama sosok cowo yang jemput dia."

Nico menghela napas

"lo suka sama dia ya?" hampir saja Nico ingin melempar buku buku di atas meja belajarnya ke arah Alfi, Alfi melindungi kepalanya sambil berucap "et, jangan lemparin gue pake buku."

"lo ngelantur, fi. Ngigo!" tepis Nico dengan ucapannya sampil menaruh kembali buku cetak yang tadi hampir dilempar.

"mungkin, lo mau cari penggantinya Maya gitu." Alfi mengidikan bahunya bingung bertanya tanya. "lo mutusin Maya karena lo gak maukan Tassia kenapa kenapa pas di ancem maya waktu itu."

Nico bangkit dari kursi nyamannya dan menarik Alfi keluar kamar pribadinya, "mending lo pulang, mandi lagi. Iler lo masih ngumpul tuh, nanti lo baru kesini." senyum penuh arti lalu menutup pintu kamarnya.

"woi monyet! Kenapa gue di usir sih. Bukain nggak! Gue belom mau pulang!!" kerja keras Alfi mengedor pintu kamar Nico tidak membawakan hasil di detik berikutnya. "gue bakal bantuin lo nyari tau, siapa yang jemput Tassia tadi! Asal lo bukain gue pintu sama izinin gue makan disini,"

Nico memejamkan matanya lalu membuka pintu masih melihat wajah Alfi yang cengar cengir, "perjanjian lo nggak mempan, monyet!"

"Maya udah jadian sama Gio,"

Nico memasang wajah datar dan menatao dingin "nggak peduli,"

"Masa lo masih mau ngejomblo, nyet!" Alfi menyerobot masuk. "lo suka sama Tassia kan?"

"nggak,"

"naksir kan lo?" tanya Alfi lagi dengan menunjuk Nico.

Masih bersih keras dengan jawabannya, "nggak,"

"oke, besok gue nembak Tassia. Gimana?" pertanyaan Alfi terakhir membuat Nico melotot ke arahnya.

"Anceman lo. Gak mempan!" masih bersih keras menutupi perasaannya. "kampungan!"

"tapi, kenapa pas gue ngancem mau nembak Tassia lo melotot kesel gitu?"

"reflek," Nico kembali datar.

Alfi berjalan menuju balkon kamar milik Nico dan menyelipkan sebatang rokok di bibirnya lalu memghembuskan asap putih yang mengebul terbawa angin. "gue tau, Tassia suka sama lo udah lama koh. Ehm... Dari cara dia ngeliatin lo tuh beda pas rapat osis. Kirain gue, dia suka sama gue. Gataunya sama monster es kayak lo."

"bisa gak ngerokok di sini gak?"

"mulut gue asem banget, tadi gak sempet ngerokok di tongkrongan." kembali mengepul asap putih lagi, "nih ya, kurang apa lagi Tassia dalam urusan perasaan?"

"gue gak pernah peduli sama dia, dia gak suka sama gue. Semua itu hanya hoax. Nggak bisa di percaya," Nico mengantongkan kedua tangannya di dalam saku celana denim pendek selutut berwarna hitam. Sambil menatap ke arah taman belakang. "dia suka sama Fachri, temen sekelasnya."

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang