TIGA PULUH SEMBILAN . SATU
❄❄❄Nico mendekatkan posisi duduknya. Mengusap pundak Tassia mencoba memberi ketenangan diri Tassia. Nico sangat merasa bersalaah. Pasalnya tadi dia kehilangan kendali, emosinya tiba tiba meluap begitu saja.
"Cha, maaf." Kata Nico.
Tassia masih asik dengan tangisannya. Tassia bukan perempuan yang suka dibentak apa lagi dengan suara kencang seperti tadi.
"Tassia, saya minta maaf." Sesal Nico entah bagaimana menghentikan tangisan gadis di sampingnya.
Tassia terdiam, terkejut, dan mematung ketika merasakan kepalanya sudah bersandar di dada bidang Nico. Tanpa sadar Nico melakukan tadi, meraih tubuh Tassia dan jatuh dalam dekapannya.
Tassia rasa Nico sedang menyumpahi dirinya sendiri. Degup jantung Nico terdengar lebih cepat, Tassia bisa mendengar dan merasakan itu. Tidak kalah dengan Tassia, gerakan Nico yang spontan juga sama mempercepat detak jantungnya. Tapi, masih saja Tassia menangis walaupun sudah sedikit mereda.
"Kalau kamu nggak bisa maafkan saya sekarang. Silahkan kamu nangis sepuas puasnya di sini, saya nunggu kamu maafkan saya." Dengan teduhnya suara Nico.
Tassia menarik napas, dan akhirnya dengan waktu yang cukup lama. Tassia nyaman berada di dada bidang Nico, wangi acqua milik Nico membuat Tassia semakin betah. Sampai Tassia lupa, dia sudah berhenti menangis dan dia harus langsung menarik kembali tubuhnya dari dekapan Nico.
"Makasih udah maafkan saya."
Tassia masih diam di tempatnya. Pikirannya kosong didetik berikut. Udara dingin masih bisa ia rasakan walaupun sebenarnya ia menggunakan jaket.
Gadis manis ini masih diam, menatap keramaian di bawah sana. Melihat orang orang merasakan hangatnya kue kecil yang selesai dari oven atau hanya sekedar menikmati kopi di malam hari. Tassia masih berpikir, alasan Nico berubah menjadi hangat seperti tadi dan di detik berikutnya menjadi dingin lalu kembali hangat.
Nico cepat merubah sifatnya yang sama sekali sulit ditebak. Seperti ada sisi yang lain belum dia perkenalkan kepada Tassia. Sisi dimana Nico selama ini peduli dengan gadis itu, sisi dimana Nico juga menyukai Tassia.
"Ka?"
Nico tidak menoleh ke arah Tassia melainkan sibuk menatap lurus gelapnya malam ini. Dengan punggungnya yang tersandar pada sofa.
"Gue pulang ya, gue ngantuk abis nangis." Pelan Tassia yang sebenarnya sedikit ragu. Tidak ada balasan dari Nico dan akhirnya Tassia memutuskan untuk berdiri. "Gue... pulang duluan."
Baru saja Tassia ingin melangkah, tapi sesuatu mencekal pergelangan tangannya. Iya, tangan Nico dengan cepat meraih pergelangan Tassia. Dan meminta Tassia duduk kembali di sofa. Serontak, dengan tarikan Nico Tassia sukses duduk kembali dengan jarak yang begitu dekat dengan Nico.
"Saya mau kamu temani saya di sini." Nico melirik ke arah Tassia dengan tatapan seperti memohon. "Malam ini."
"Ka, tapi gue udah ngantuk banget."
Nico mendengus, dia mencoba memulai pembicaraan yang serius. "Kamu bisa tahan ngantuk, tapi saya nggak bisa tahan perasaan saya ke kamu, cha."
Sepertinya setelah mendengar ucapan Nico, darah Tassia seketika menjalar ke pipi. Membuat pipinya menjadi seperti tomat rebus. Padahal Tassia seudah menahan agar pipinya tidak seperti ini, tapi mau bagaimana lagi? Tassia senang mendengar ucapan Nico tadi.
"Kamu nggak ada capeknya ya ngejar ngejar saya?"
Tassia dengan polosnya bergeleng. "Nggak, soalnya gue mau menyelaraskan langkah sama lo. Bukan mau tetap berada di belakang lo." Tassia menghela napasnya kasar setelah mengingat kembali perjuangannya. "Tapi sayangnya, lo sama sekali nggak nengok gue atau pun mau berhenti agar langkah kita sama."
Nico terkekeh, "saya udah berhenti."
"Ha?" Tanya Tassia.
"Saya udah berhenti lari lebih cepat dari kamu."
"Saya juga capek, menghindar terus dari kamu. Saya juga nggak ingin melihat kamu lebih capek dari pada saya."
"Kamu... masih nggak ngerasa kalau kita udah sejajar?"
Tassia menggeleng. Dia merasa bodoh, karena hanya bisa menggeleng seakan lidahnya sangat keluh untuk berucap. Karena dia masih terkejut mendengar kalimat panjang dari Nico.
"Tassia,"
Nico sudah mempersiapkan dirinya. Dia membalikan tubuhnya lebih fokus pada gadis manis yang berada disampingnya. Nico menatap hitam pekat Tassia. Sampai, Nico sendiri ragu untuk mengucapkan ini.
"Saya rasa kamu udah cukup ngejar saya lagi."
Tiba tiba rasa senang Tassia hilang begitu saja. Dia takut kejadian di taman komplek terulang, dia takut hatinya kembali hancur, dan dia takut dia tidak bisa percaya dengan harapan lagi. Jelas terlihat di lekukan garis wajah Tassia yang berubah drastis. Tidak ada lagi pipinya yang merona.
"Dulu juga lo pernah nyuruh gue berhenti ngejar lo lagi, kak, tapi dengan bodohnya gue nunggu lo nyuruh gue berhenti ngejar lo lagi. Kayak sekarang."
"Mungkin kalau lo udah nyuruh gue berhenti ngejar lo sampai dua kali kayak gini, gue benar benar berhenti kok ka,"
"Pagi tadi beda banget sama sekarang." Ucap Tassia yang mulai melemah, dia ingin menangis lagi. Tapi dia takut dia akan lama berhenti menangis. Tassia menunduk menyembunyikan genangan air yang hampir ingin menerobos.
Nico tersenyum seperti tidak merasakan kesalahannya. Dia mengulurkan tangannya sampai bisa menyentuh puncak kepala Tassia, mengusapnya dengan pelan.
"Saya udah berhentikan langkah."
"Jadi... kamu mau melangkah bareng saya?"
Tassia kembali dalam posisi biasa rasanya, perasaan senangnya hampir meledak. Bukannya dapat balasan manis, tapi Nico mendapat cubitan di tangannya. "Argh... kenapa saya dicubit?"
"Lo ngeselin ka!"
"Gue malu nangis mulu!"
"Ish! Ka Nico ngeselin!" Desis Tassia terus mencubiti Nico yang masih menertawai dirinya.
Nico menahan kedua tangan Tassia. Agar tidak terjadi lagi amukan masal dari Tassia. Nico menggengam kedua tangan gadis manis yang lagi lagi merona. Sampai sampai Nico heran, kenapa pipi Tassia bisa secepat itu berubah warna.
"Jadi jawabannya apa?"
Tassia mengangguk dengan semangat menjawab pertanyaan Nico tadi. Nico langsung menarik tangan Tassia masuk kedalam pelukannya lagi. Nico nyaman seperti ini, seakan hidup di dalam keasingannya sementara terlupakan. Masalah sulit yang dia alaminya sementara terlupakan. Dan malam ini Nico ingin melupakan segalanya kecuali gadis yang berada di dekapannya sekarang.
"Ka?" Panggil Tassia yang menenggelamkan kepalanya dipelukan Nico.
"Apa?"
"Gue ngantuk." Jawab Tassia. "Pulang ya, udah malam takut ayah khawatir."
Nico merenggangkan pelukannya dan kembali lagi menatap pekat lingkaran di mata Tassia.
"Yaudah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Senior✔
Teen Fiction[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu bertolak belakang. Tassia menyukai keramaian, heboh dengan dirinya sendiri, selalu punya teman bany...