56 | Papa

2.2K 133 6
                                    

Cintai diri sendiri, baru orang lain.

LIMA PULUH ENAM
❄❄❄

Lorong putih dengan berbagai pintu bertuliskan nomor kamar yang terpajang di daun pintu. Nico mencari nomor kamar yang ditujunya. Matanya intens menangkap ke sekitar seraya kakinya yang masih berlari pelan. Bau obat langsung menyeruak masuk dalam penciumannya, sama sekali Nico tidak menyukai bau ini.

Tiga belas, nomor yang ditujunya sekarang sudah terlihat. Nico dengan cepat langsung masuk kedalam dan menemui Rianto yang sedang berbaring seraya Tari yang menyuapinya. Sedikit tenang melihat Rianto yang masih bisa tersenyum akan kedatangan putra keduanya.

Nico memelankan langkahnya, ia mendekat. Tangannya langsung menyerobot tangan Tari dan Rianto, mengecup penuh dengan kasih sayang.

"Kenapa bunda nggak bilang Vano kalau papa masuk rumah sakit?"

Tari meletakan nampan makanan di atas nakas. Kebetulan makanan itu juga sudah habis. "Bunda mau kamu menyelesaikan masalah kamu dulu Van. Papa ada yang jagain kok."

"Nggak gitu juga, bun. Vano inikan putra papa, berhak tau dong keadaan papa."

Tari mengangguk, ia mengerti putra Rianto seperti apa. Egois dalam pemikirannya yang tenang. "Yaudah, maafin bunda." ucap Tari begitu lembut.

Sejak pertama Nico masuk, sebenarnya Tari sudah sangat terkejut melihat bagaimana putra Rianto dengan bekas lebam di wajahnya yang sangat terlihat. Begitu kacau diri Nico. Entah apa yang di lakukannya di luar sana. Tari sangat khawatir dengan keadaan Nico.

Tatapan Tari mengirimkan kekhawatiran pada Nico. Nico mengetahui arti tatapan mata itu. Ia langsung memeluk sekejap Tari seraya berkata, "jaga papa ya bun, Vano lagi kacau, jaga diri sendiri aja nggak becus, gimana jaga super hero keluarga." ucap Nico pelan tanpa sepengetahuan Rianto.

"Iya Vano, Bunda keluar sebentar ya, mau nyari makanan buat kamu." tanggap Tari begitu tenang dengan ucapannya. Sebenarnya hatinya begitu khawatir dengan keadaan Nico sekarang. Tari meninggalkan kamar pasien VVIP ini.

Hanya tinggal Nico dan Rianto yang masih berbaring diatas kasur berlapisi kain berwarna mocca. "Gimana, pa?"

"Muka kamu itu kenapa?"

Nico tidak menjawab pertanyaan Rianto, ia malah mengalihkan pembicaraan. "Papa mau minum?" Nico menyodorkan segelas air putih di hadapan Rianto, dan Rianto menerima minum itu.

"Nggak suka ya di sekolah baru?"

"Suka pa, udah papa mikirin kesehatan papa dulu, baru Vano. Dulu emang Vano mau di perhatiin terus sama papa, tapi untuk kali ini Vano ngalah. Papa harus sehat dulu, baru khawatirin Vano."

"Persis kayak mama Vina." balas Rianto seraya memposisikan dirinya untuk duduk. "Cintai diri sendiri baru orang lain, bukannya begitu maksud kamu?"

"Iya, pa."

"Tapi liat sekarang diri kamu, Van. Apa kamu udah mencintai diri kamu sendiri?" tanya Rianto kepada putra keduanya yang saat ini sangat terlihat kacau. "Kamu sama kayak almarhuma mama mu, mentingin hidup orang lain dari pada diri sendiri."

Nico sama sekali tidak menanggapi ucapan Rianto yang membahas masa lalu. Nico hanya bisa menenangkan dirinya sendiri agar bendungan air mata tentang kenangan Vina tidak diingatnya lagi, walaupun tidak bisa dan malah berujung pada rasa bersalah dirinya sendiri.

"Udah pa, intinya jangan mikirin macem macem dulu. Kesehatan papa lebih penting." senyum Nico menutupi semua rasa sakit kenangannya dulu.

Vano sama sekali nggak persis dengan mama, mama hebat pa, Vano? Jagain papa aja nggak bisa.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang