33 | Bukan Ilusi

3.9K 140 0
                                    

TIGA PULUH TIGA
❄❄❄

Kedua mata Tassia yang biasanya teduh, sekarang berubah sayu. Beruang yang sedang berhibernasi di dalam perut Tassia seolah dibangunkan. Jalan Tassia pelan takut ada hal yang membuatnya jatuh dan malu, sesekali dia menutupi wajahnya yang sangat muka bantal.

Tali Tasnya hanya satu tersampirkan. Tangan yang satu memegang jaket grey miliknya dengan lemas. Seakan nyawanya belum terkumpul dan Tassia berharap langsung sampai rumah untuk melanjutkan petualangan mimpinya. Mimpi indah namun sementara.

Berdiri tepat di depan gerbang sekolah. Satu persatu murid berjalan menjauh dari sekolah. Bahkan, Vanny teman Tassia sendiri meninggalkan dan memilih untuk pulang duluan. Ini memang resiko ketiduran di kelas, hasilnya bus atau angkot yang biasanya lewat jam pulang sekolah sekarang tidak ada satupun. Mau tidak mau Tassia harus berjalan sampi bertemu jalan raya besar dari pada menunggu sampai sore.

Tidak peduli apapun di sekitarnya. Matnya yang masih mengantuk berjuang keras untuk menahan agar tidak tertutup. Bahaya juga kalau lagi di gang sempit hanya dua meter seperti ini Tassia tertidur. Kan tidk lucu sama sekali.

Rasa takut melangkah, ada, ketika Tassia melihat dua orang cowo bersandar di sisi gang yang berbeda. Kanan dan kiri mengapit siapapun yang lewat. Tapi ini satu satunya jalan menuju jalan raya, mau tidak mau harus lewat. Paling tidak bilang permisi, biar tidak digangguin. Setidaknya sudah bersikap sopan.

Tapi... iris mata hitam pekat Tassia menangkap satu cowo berpakaian seragam sekolahnya. Cowo itu tidak asing baginya, bahkan tadi pagi Tassia sempat menghindar dari cowo itu. Apa harus kali ini Tassia menghindar juga? Santai, Tassia masih punya nyali untuk kali ini. Demi tidur pulas di rumah. Cowo berpakaian seragam sekolah dengan kacamata yang berjengger di batang hidung cowo itu.

Jangan lupakan, ada dua cowo! Cowo yang di depannya menoleh ke arah Tassia. Sial, Tassia tidak mengenali cowo yang satunya lagi. Karena wajahnya tertutup masker abu abu. Tassia memberanikan diri untuk melewati dua orang cowo itu.

Langkah Tassia mendekat, membuat cowo yang bermasker seperti jantungnya berpesta. Degup cowo bermasker tidak karuhan, bahkan kali ini dia berharap ada jurang dalam dan melempar jantungnya kesana agar tidak terdengar ritme jantung yang cepat.

Semakin dekat, Tassia merasakan ada sesuatu yang janggal dari langkahnya dan juga... penciumannya. Tassia melirik sinis kearah cowo berkacamata yang sempat ia hindari tadi pagi. Sempat penasaran, spontan pandangan Tassia teralihkan ke wajah bermasker di sebelah kanannya. Tassia melewati dua orang itu.

Aroma acqua langsung menyerbu penciumannya. Menggelitik, ingat beberapa potongan kenangan hangat yang harus Tassia hancurkan. Mengulang kembali kejadian kejadian tahun lalu. Satu nama dipikirannya ketika mencium wangi acqua.

Nico Devano.

Saat gadis manis ini melangkah mendekat dan menoleh. Memperhatikan setiap garis wajah lelaki bermasker. Garis wajah yang sedikit Tassia kenal. Tapi tidak mungkin, beberapa warna di wajahnya membiru dan merah. Lebam. Bahkan lingkaran satu matanya terlihat membengkak.

Mata, warna bola mata yang hampir Tassia lupakan. Cokelat terang, Tassia selalu ingat warna iris mata lelaki dingin yang sekarang entah menjadi apa disana. Disana, jauh, yang pasti bukan dihati Tassia.

Langkah Tassia terus melewati dua lelaki itu. Sedikit tersenyum, sempat mengingat bagaimana cara lelaki bermasker tadi menata rambutnya persis dengan tatanan rambut milik lelaki dingin yang... ah lupakan.

Tassia mengerjap, tubuhnya tegap. Menyatukan beberapa potongan puzzle yang berhasil dia satukan menjadi ciri ciri lelaki yang dia rindukan. Bukan, lelaki yang membuat hatinya terbesit.

Mata cokelat terang.
Rambut badai, dan rapi.
Wangi acqua.
Nico Devano.

Satu nama yang langsung menusuk pikiran Tassia. Ingatannya kembali lagi kepada lelaki berdarah dingin. Tassia berbalik dan hanya melihat bahu tegap lelaki itu yang berjalan berlawanan dengan Tassia. Tassia memicingkan matanya, berharap kalau itu memang Nico. Tapi Tassia sudah tidak ingin mencoba berharap. Takut harapannya tidak sesuai kenyataan.

Dia Nico? Tapi.. Nicokan di Jerman.

Pandangan mata Tassia beralih menatap lelaki berkacamata yang akhir akhir ini sering memberikan cetakan foto. Ah, dia selalu dibilang penggemar rahasia, tapi Tassia tidak peduli. Mata Tassia teralihkan lagi ke tubuh tegap lelaki... tunggu ada satu hal yang mencuri pandangan Tassia. Amplop cokelat yang sama dengan beberapa amplop yang pernah Tassia terima. Ya, lelaki bermasker tadi menenteng amplop cokelat di tangan kanannya. Apa mungkin amplop itu ada hubungannya dengan lelaki berwajah lebam tadi yang ciri cirinya sama seperti Nico? Apa dia hasil renkarnasi Nico? Apa dia Nico? Ah sial, kepala Tassia menjadi migren.

Tassia kembali menoleh lagi ke arah lelaki berkacamata. Lelaki itu malah tersenyum samar dan menyusul langkah lelaki bermasker tadi. Satu pertanyaan lagi, kenapa lelaki berkacamata itu tersenyum samar seperti itu? Bahkan Tassia bisa dibilang melotot kearahnya. Heran.

Tassia melangkah kembali menjauh dari tempat tadi. Memasang Aerphonenya di ponsel dan mendengarkan musik. Bersikap tidak peduli, itu yang Tassia dapat setelah kenal Nico.

Saat belokan didekatnya, lelaki berpostur tubuh yang sama dengan remaja lainnya menabrak Tassia keras. Tassia meringis sakit, menahan bahunya yang tertabrak tadi.

Melepas aerphone dan mengomeli lelaki dihadapannya sekarang. "Ka Alfi, kalau jalan tuh liat liat."

"Iya gue liat, cha. Gue liat!" Balas Alfi sambil melihat kearah belakang Tassia.

Tassia bingung dan menaikan satu alisnya. "Lo liat apa?"

"Gue liat dia mukanya penuh bekas tonjokan. Dia temen gue cha. Yang pakai masker!"

"Ya... gue nggak peduli kak." Balas Tassia ingin memakai kembali aerphonenya. Tapi Alfi mencegah dan menarik tangan Tassia. "Ka Alfi lo ngapain?"

"Dia Nico!"

Damn! Tubuh Tassia terasa jatuh kedalam jurang dalam. Bergelinding, terbentur pepohonan. Yang tadi dia rasakan itu kenyataan. Semua yang ada pada cowo tadi benar itu Nico. Tassia langsung diam, tubuhnya seoerti mati rasa. Tapi tangannya terus ditarik Alfi sampai kakinya melangkah mengikuti Alfi.

Baru kali ini harapan Tassia tadi kenyataan. Lelaki bermasker tadi benar Nico, bahkan temannya sendiri yang mengatakan bahwa yang tadi adalah Nico. Tunggu... ada apa dengan wajah Nico? Nico berkelahi? Bahkan Nico cowo dingin yang dikelan Tassia tidak pernah peduli dengan keadaan sekitar. Jangankan berkelahi, menatap orang yang tidak terlalu penting saja jarang.

Harapan kedua Tassia, Tassia harap ini bukan bunga tidur seperti apa yang Tassia rasakan tadi di kelas. Tassia harap ini benar kenyataan, ini benar apa yang dikatakan Alfi, ini benar apa yang dirasakan Tassia dan Tassia harap... ini benar benar Nico bukan ilusi matanya.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang