35 | Duka untuk sore

4K 143 1
                                    

TIGA PULUH LIMA
❄❄❄

Jari bergantian teratur mengetuk meja cokelat tua berlapisi taplak motif batik. Ruangan dengan isi dua foto orang ternama di Indonesia, terlebih lagi lambang garuda di tengah. Suasana meneganggakan karena sunyi antara keempat orang yang tidak ingin saling bertatap tatapan.

Ruang BK.

"Tassia?" Panggilan yang terdengar ganas dari mulut lelaki berkepala lima yang menatap tanpa ada rasa iba. Ini kejam.

Tassia tidak berani menatap kembali Pak Mulyo. Gadis manis ini menunduk. "Ya, saya Tassia pak."

"Kamu itu perempuan, tidak usah cabut cabutan sama Alfi. Kamu berdua pacaran?" Omel Pak Mulyo dengan suara khas jawanya.

Dengan cepat, Alfi dan Tassia saling tatap tatapan geli. Alfi menaikan alis tebalnya sedangkan Tassia melotot ngeri. "Ogah," ucap Tassia dan Alfi bebarengan.

Pak Mulyo memutar pandangan matanya, memakai kacamata yang mungkin berlensa tebal. "Kamu juga, anak baru belum ada setahun sudah cabut... cabut... cabut... kamu tidak betah sekolah disini?"

Rega menunduk pasrah.

"Pak?" Panggil Tassia lembut, seraya menahan ketawa. Begitupun dengan Alfi yang mencoba agar suara tawaannya tidak meledak saat ini juga.

Pak Mulyo melotot kejam, tapi tidak membuat Alfi dan Tassia takut. Malah tawa akan semakin meledak. "Apa kamu manggil saya?"

"Itu pak anu..."

"Ona anu ona anu, kenapa anu saya?" Balas Pak Mulyo yang membuat Alfi tidak bisa menahan tawanya dan meledak saat ini juga membuat Tassia dan Rega ikut tertawa. "Kalian ngetawaain apa?"

Tassia berhenti tertawa tapi yang lainnya masih tersisah tawaan kecil. "Saya cuman mau bilang, kacamata bapak terbalik."

"Ah masa?" Tanya balik Pak Mulyo yang masih tidak menyadarinya. Satu hal sifat Pak Mulyo yang paling menonjol dari guru guru yang lain. Tidak ingin kalah. Apa lagi debat masalah seperti ini, bisa ditebak siapa yang menang. "Kamu salah lihat kali."

"Ya kali pak kita salah lihat? Orang bapak aja di depan muka kita." Jawab Alfi yang sudah menetralkan tawanya.

"Sudah sudah, kamu yang salah lihat."

"Nggak mungkin jugakan mata kita yang terbalik?" Bisik Alfi kepada Tassia. "Emang dasar, orang tua."

Terjadi kesunyian dalam ruangan dingin yang kira kira luasnya lima kali lima meter persegi. Hanya suara detik jam dan lembaran kertas di bolak balik. Pak Mulyo mulai serius untuk kali ini, dan baru menyadari kacamatanya terbalik. Kembali lagi melihat catatan pelanggaran, mereka bertiga disuruh menuliskan nama masing masing dan menandatangani di kertas pelanggaran tersebut.

Tassia mendengus pasrah begitupun dengan Rega. Benar, belum ada satu semester nama Rega Pratama sudah tercatat rapih di buku pelanggaran. Beda dengan rawut wajah Alfi, justru lelaki berjambul ini sibuk memainkan ponselnya walaupun kegiatan tersebut sedang diharamkan.

"Makasih pak," Alfi berdiri diikuti oleh Tassia dan Rega. Belum sempat diterima oleh Pak Mulyo, wajah mereka kembali menekuk ketika Pak Mulyo menyuruh mereka duduk kembali.

Pak Mulyo berdehem, "masih ada hukuman."

"Pak," panggil Tassia berharap bisa meneduhkan hati Pak Mulyo dan membuat Pak Mulyo iba. "Masa kita dihukum? Jangan ya."

"Jangan melas sama saya, Tassia." Pak Mulyo kembali lagi mentap keseluruhan. Ya, mereka bertiga. Sampai Tassia tidak melihat ada rasa iba di mata Pak Mulyo. Pembantaian dimulai. "Masih ada satu jam pelajaran lagi sebelum istirahat, kalian bisa manfaatin waktunya untuk meminta maaf kepada seluruh warga SMA Rajawali."

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang