28 | Anak Muda

4K 151 0
                                    

DUA PULUH DELAPAN
❄❄❄

"Ka Alfi?" Panggil Tassia dari kejauhan saat melihat Alfi bersama rombongannya masuk ke kawasan kantin.

Alfi menoleh ke sumber suara, "apa sih neng?"

"Coba lo duduk sini dulu." Tepuk Tassia di kursi yang kosong.

"Gue duduk diantara cewe adik kelas?" Balasnya, "reputasi gua tercemar nanti sebagai cowo setia."

Tassia berdecak kesal karena Alfi terlalu banyak basa basi, padahal Tassia tahu, Alfi tidak akan menolak tawaran Tassia untuk duduk bareng Hani dan Vanny.

"Ya, setiap tikungan ada." Serobot Vanny membuat Tassia dan Hani terkekeh sampai sampai Alfi pasrah dan mengalah untuk duduk bersama adik kelas.

"Ah bukan gue banget kalo setiap tikungan ada, setiap langkah malah." Alfi duduk bersama mereka. "Kenapa?"

Tassia menatap temannya satu persatu, melihat keadaan dan menyuruh dua temannya untuk memesan makanan agar dia bisa leluasa membicarakan ini dengan Alfi. Mau tidak mau, dua cewe itu mengikuti apa kata Tassia, walupun terpaksa.

"Gue kemarin dapet foto," mengeluarkan hanya tiga dari lima foto yang Tassia punya, "nih, gue berharap banget lo tau pengirimnya siapa."

Alfi memperhatikan apa yang ada di foto itu. Pikiran Alfi juga sama bingungnya dengan Tassia, karena yang ada di foto itu hanya gambar gambar keadaan.

"Lo manggil gue cuman buat nanyain ini foto dari siapa?"

"Hai?" Tassia dan Alfi langsung nengok ke arah sumber suara dan kembali tidak memperdulikan kedatangan Fachri. "Yaampun, gue di kacangin kayak ketoprak."

"Apaan nih?" Ambil Fachri ingin tahu. Bibirnya berbentuk o sempurna setelah tahu kalau yang sedang di bicarakan Tassia dan Alfi adalah tentang foto yang dia terimanya kemarin.

Tassia hanya memberikan beberapa foto saja. Surat dan sisa fotonya itu tidak ingin di beritahukan ke Alfi, karna Tassia pikir, Alfi juga tidak akan membantu banyak tentang siapa pengirimnya. Bukti, Alfi bingung setelah melihat tiga cetakan foto yang Tassia berikan.

"Nggak tau, gue nyerah," Alfi angkat tangan dan segera menghampiri kawanannya yang sudah di pojok kantin. "Gue ke Kemal dulu, bye!"

Fachri duduk di hadapan Tassia melihat jajaran tiga cetakan foto. "Kenapa lo cuman ngasih tau tiga doang dari lima. Terus, suratnya mana?"

"Ini cuman gue sama lo doang yang tau. Gua yakin, kita bisa nemuin pengirimnya."

Fachri mengangguk, "kenapa nanya ke Alfi kalau yakin kita bisa nemuin pengirimnya?"

"Siapa tau dia bisa ngasih informasi," balas Tassia. "Tapi sia sia, Ka Alfi nggak tau apa apa."

"Aaaaaaaaaa.... Fachri," teriak Hani dengan tangan yang masih memegang nampan berisi tiga soto.

"Nggak usah lebay apa sih," balasnya santai. Fachri memang bukan tipe tipe cowo yang romantis. Tapi jangan salah, walaupun bukan tipe yang romantis tapi dia punya perhatian yang tidak dimiliki sama cowo lain. Apa lagi di miliki Nico. Sudahlah.

"Pacar lo nyapa malah di gituin," ucap Vanny seraya duduk di samping Tassia.

Hani menuangkan sambal sampai tiga sendok padahal dia pernah menderita sakit cuman gara gara kebanyakan makan pedas. Nggak ada kapoknya. Fachri melotot, "lo makan soto pake sambel apa makan sambel pake soto?" Tanya Fachri, "beli lagi yang baru, Ini buat gue. Jangan pake sambel!"

"Bacot banget sih yaampun." Rengek Hani sambil kembali memesan soto lagi atas suruhan Fachri pacar tercintanya. Dan mereka bertiga duluan menyantap makannya.

"Eh gue nggak mau sam---"

"GILA, BODOH BANGET SIH LO. JALAN PAKE MATA SAMA KAKI. JANGAN PAKE MATA KAKI," Tassia, Fachri dan Vanny yang sedang asik menyantap soto dan mengobrol tiba tiba hampir tersedak berbarengan setelah mendengar teriakan maut dari temannya. Mereka bertiga menengok untuk melihat apa yang terjadi.

Sebagian baju Hani sudah berwarna coklat basah karena es susu yang tumpah di seragam putihnya itu. Siswa cowo yang tidak sengaja menabrak dan si pemilik es susu itu hanya menunduk mendengar ocehan dari Hani.

"Maaf, gue nggak tau." Siswa itu nunduk sambil berucap. "Gue---"

"Liat ke jalanan jangan ngeliatin temen gue mulu!" Bentak Hani. "Gue nggak terima baju gue begini."

"Gue kan udah minta maaf," balasnya.

Hani masih belum mengeluarkan semua kekesalannya. "Nanti pulang sekolah lo kekelas gue, lo loundry baju gue. Mau lo senior, gue nggak peduli." Hani mengontrol dirinya sebentar. "Tang.gung.ja.wab!"

"Iya maaf,"

❄❄❄

Hari ini...
Langit Jerman semakin gelap, senja muncul dengan indahnya. Nico sangat menyukai dimana senja muncul. Rumah besar seperti biasanya berada di tengah tengah pemukiman yang nyaman. Lantai kramik berwarna silver, tiang tiang besar di tempatkan di berbagai sisi. Kaca besar tepat menghadap ke halaman belakang. Dan yang paling Nico suka dari tempat tinggalnya yang ini adalah dia bisa melihat senja terbaik.

"Iya pah, masalah saham sudah kembali membaik." Ucap Nico membalas pertanyaan di seberang skype.

"Kamu sama Rendy?"

"Nico capek kalu bahas ini. Apa lagi yang Rendy mau? Dia bilang dia nggak bakal ganggu pekerjaan Nico. Apa? Dia cuman sampah, pa!"

"Nico---"

Nico mendengus kasar mencoba untuk menahan emosi di depan papanya dan kata kata kasar. "Besok ada kelas pagi, Nico harus istirahat."

Di putuslah sambungan skype Nico dengan papahnya. Saat ini tidak ada yang harus di pikirkan lagi selain kedudukannya di perusahaan mobil terkenal yang ia duduki. Sekolahnya di jerman hanya tuntutan ilmu yang harus di patuhi. Saat ini menurut Nico memikirkan Tassia itu tidak penting, hanya mengganggu pekerjaannya. Ya, memang sejak awal bertemu Nico hanya menganggap Tassia sebagai pemgganggu yang selalu membuat risih. Tapi bohong jika Nico tidak Rindu dengan senyuman Tassia.

Nico menuruni tangga sambil memijit keninganya yang sedikit terasa pusing. Hanya dia sendiri seperti biasanya yang tinggal disini, pembantu ataupun yang lain, walaupun bisa di bayar mahal oleh papahnya tapi Nico tidak menginginkan keberadaan mereka. Nico menyukai kesendiriannya.

Dibukanya pintu lemari pendingin, banyak sekali makanan cepat saji disini. Nico bosan dengan makan seperti ini. Diambilnya buah apel dan langsung digigit lezat. Jaket hangat yang tersampir di sofa langsung di ambilnya dan Nico ingin menuju ke suatu restoran di sini yang memgingatkan dia dengan apapun di Jakarta.

"Selamat sore," sapa pelayan yang berada di dekat pintu. "Ah ini dia, ternyata kamu selalu rindu dengan masakan indonesia."

"Ya seperti itu," Nico langsung duduk di tempat biasanya. "Aku memesan dua porsi seperti biasa. Bungkus satu dan beri ke musisi jalanan di sana."

"Kamu selalu baik hati, tuan Nico." Patuh pelayan itu yang sudah mengenal Nico sejak hampir dua bulan yang lalu. Kedekatan dengan restoran ini karena Nico sering kesini untuk makan. Ataupun hanya mencium aroma masakan rumah.

"Jangan panggil saya Tuan. Saya masih berusia tujuh belas tahun. Bahkan lebih muda dari umur segitu."

"Kapan kamu berulang tahun?" Tanya pelayan itu telalu luas.

Nico meletakan jaketnya di kursi kosong sebelahya, "itu tidak penting, aku tidak memperdulikannya."

"Setidaknya kau tahu, umur muda seperti ini jangan di sia siakan untuk pekerjaan yang terlalu berat. Percintaanmu masih bisa senang senang." Ucap pelayan itu yang bernama Gilang berumur lebih empat tahun dari Nico, "aku membuatkan pesananmu dulu. Setelah itu kita bisa bertukar pengalaman seperti biasa. Anak muda."

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang