38 | Maaf

4.2K 141 0
                                    

TIGA PULUH DELAPAN
❄❄❄

Tassia melompat turun dari posisinya. Sudah berada tepat di depan gerbang rumahnya. Gadis itu merapihkan seragamnya dan rambutnya yang sedikit berantakan karena menggunakan helm. Tassia tersenyum, bingung apa yang harus dia ucapkan. Bahkan pikirannya masih mencatat tentang prilaku Nico yang berubah derastis dari biasanya.

Tassia menunduk menetralkan deru napasnya membalas hati mulai beritme cepat oleh karena satu alasan. Tatapan tajam tapi kali ini tidak dengan dingin, lingkaran cokelat hangat di mata Nico itu membuat Tassia sadar, masih ada harapan yang tersisa dari jejak langkah perjuangannya.

"Makasih ka," ucap Tassia sambil menyerahkan helm yang sudah dia lepaskan dari kepala kepada Nico.

Nico menerima helm dari Tassia dan melepas helm yang dia gunakan juga. Rambut badai miliknya terlihat lebih jelas kali ini. Menambahkan kecepatan degup jantung Tassia.

"Untuk apa?" Balasnya, dingin kembali.

"Sudah antar jemput gue hari ini." Tassia sedikit salah tingkah ketika Nico menatapnya datar namun dalam.

"Oh." Angguk Nico dengan sedikit senyum. Sedikit, tapi Tassia tidak ingin melewatkan senyum itu. "Yaudah kamu masuk."

"Lo nggak mampir dulu gitu, ka?" Tawar Tassia. "Kebetulah bokap gue baru pulang dari Kalimantan."

"Nggak, Saya banyak urusan." Nico belum siap kalau harus bertemu orang tua Tassia, apalagi harus menjawab semua pertanyaan dari kedua orang tuanya. Bukan karena Nico tidak yakin dengan perasaannya sekarang, tapi mungkin memang belum saatnya.

"Oke, mungkin lain kali gitu ya maksudnya."

Tassia menerima jawaban dari Nico dengan hatinya yang sabar. Mungkin kalau cewe lain menerima jawaban seperti itu sudah hancur mood nya, tapi tidak untuk Tassia. Dia mengerti tentang apa yang dilakukan Nico.

"Itu kamu tau." Nico mengulurkan tangannya menyentuh lembut rambut Tassia dan mengacak ngacaknya pelan. Reaksi Tassia tidak bisa ditahan, seolah darahnya semua mengalir menuju pipi yang sekarang berwarna merah. Tassia menunduk menyembunyikan kedua pipinya dan rasa bahagia yang datang secara bersamaan. "Saya pulang dulu ya Tassia."

"Iya ka," balas Tassia yang sudah menetralkan warna pipinya. "Hati hati."

Nico hanya mengangguk dan kembali menggunakan helmnya lalu pergi sampai tidak lagi terlihat oleh mata pekat Tassia. Gadis ini masih bisa merasakan sentuhan dari tangan Nico. Sampai Tassia tersenyum senyum sendiri.

Tassia memasuki area halaman rumahnya. Pria paruh baya menyambutnya ramah dengan wajah bahagia. Tiar meregangkan kedua tangannya.

"Siapa yang kangen sama ayah?"

Senyum Tassia kembali merekah, Tassia berlari mendekati Ayahnya. Seperti anak kecil yang teramat sangat rindu. Tassia memeluk erat pria paruh baya itu. Menghirup harum hangat milik ayahnya. Walaupun terbilang tidak terlalu lama Tiar bertugas di Kalimantan tapi rasanya Tassia ingin menyuiptakan suasana keluarganya yang damai lagi.

"Acha kangen," ucap Tassia sambil melonggarkan pelukannya. "Habis ini pokoknya aku, ibu sama ayah kita quality time. Acha nuntut, nggak mau tau."

"Tapi ayah istirahat dulu. Masih capek." Tiar merangkul anak gadisnya itu mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah.

"Acha kayak masih kecil kalau begini."

"Siapa bilang kamu masih kecil? Buktinya tadi ayah liat kamu diantar pacar."

Mata pekat Tassia melebar. Ternyata tadi ayahnya sempat melihat dia diantar Nico. Tassia menunduk menyembunyikan pipinya yang merona.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang