Saya nggak lagi gombal, cha. Beneran. Sumpah.
LIMA PULUH
❄❄❄Tatapan dingin memenuhi ruangan khusus untuk dirinya dan orang tepenting menurutnya. Dua pasang mata sedang berhadap hadapan, seolah memberikan suatu pesan untuk setiap tatapannya. Menegakan tubuhnya, tegap. Saat ini memang teori sopan santun harus di gunakan.
Jas yang sangat cocok untuk dirinya melekat di tubuh cowok itu. Dasi abu abu memberi aksen kesempurnaan di setiap pakaian yang hari ini ia gunakan. Rambutnya tidak acak seperti halnya remaja yang lain. Kini tertata rapih. Persis, seperti orang dewasa, Nico berusaha menyesuaikan dirinya di dalam ruangan gedung milik Rianto. Bukan seperti anak remaja seusianya. Matanya yang menatap pria paruh baya dengan sopan.
"Pa, sampai kapan Vano ada di Jerman?" tanya cowok berusia remaja di hadapan Rianto.
Rianto menyunggingkan senyum gagah, layaknya seorang ayah untuk anaknya. "Sampai ada yang ngelanjutin setelah kamu. Kamu udah cocok disini, mengatur semua perusahaan papa."
"Kenapa nggak Rendy?" tanya Nico lagi, dengan nada yang santai seperti pembicaraan keluarga. Walaupun di tempat resmi seperti ini.
"Rendy sudah megang bisnis keluarga di Jakarta, giliran kamu disini. Jerman, Van. Besok nama kamu akan mengatas namakan perusahaan."
"Saya nggak mau. Saya sama sekali nggak ada niatan mimpin perusahaan. Saya masih anak remaja, pa." nada bicara Nico sudah berubah dingin seperti jarum es.
"Justru kamu masih remaja, papa mau kamu belajar tentang perusahaan dari sekarang."
"Justru saya masih remaja, saya mau merasakan kehidupan seusia saya." cowok itu menghela nafasnya. Ucapannya dingin dengan tatapan yang mengarah diam ke lelaki paruh baya di hadapannya.
Mata cowok itu kembali teduh. Wajahnya menunduk. "Saya nggak mau, pa. Sama sekali."
"Apa nggak bisa di tukar aja dengan Rendy?" lanjut Nico bertanya.
Lelaki paruh baya itu dian sejenak memikirkan perkataan Nico. Rianto memajukan tubuhnya dari yang bersandar sekarang terlihat lebih tegas. "Apa benar kata Rendy, kamu menolak menetap di jerman karena adik kelas kamu itu?"
"Bukan, tapi Tassia salah satu alasan saya menolak di Jerman."
"Vano, papa mau kamu disini."
Nico mendengus kasar merenggangkan ikatan dasi yang berada di kerah kemeja. "Kali ini pa, cuman kali ini saya minta dan saya harap papa bisa turuti kemauan saya. Saya cuman mau satu, izinkan saya kembali ke Jakarta, menjaga gadis kedua yang berharga setelah mama. Saya tau semua apa yang terjadi pada jantung saya. Nggak ada salahnya menjaga Tassia seutuhnya, sebelum Tassia menjaga saya 'nanti' sepenuhnya."
"Kamu kenapa sih, Van?" ucap Rianto memijat pelipisnya sendiri. "Siapa yang ngurusin perusahaan papa nantinya kalau dua anak papa di Jakarta?"
"Papa bisa nyuruh Rendy ngurusin perusaan ini. Tapi, saya nggak bisa nyuruh yang lainnya untuk jaga Tassia."
"Vano,"
"Saya hanya minta itu, pa. Selama tujuhbelas tahun lebih, papa selalu ngasih apa nggak saya mau. Saya nggak pernah minta macam macam. Mobil? Apa saya pernah minta di belikan mobil? Rumah itu, apa saya sangat ingin tinggal di sana? Nggak, pa."
Nico memberi jeda pada omongannya. "Dulu saya minta agar saya nggak diasingkan oleh keluarga, tapi apa? Papa malah mindahin Nico di rumah itu, sendiri. Permintaan Nico yang itu papa nggak bisa nurutin kan? Dulu saya cuma mau dapat kasih sayang kembali dari orang tua saya. Tapi saya malah dapat pengasingan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Senior✔
Novela Juvenil[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu bertolak belakang. Tassia menyukai keramaian, heboh dengan dirinya sendiri, selalu punya teman bany...