19 | Hurt

5.2K 207 4
                                    

Bahwa yang paling menyebalkan dalam urusan cinta adalah bukan menunggu seseorang itu peka. Tapi, menaruh perasaan pada seseorang yang tidak mengerti cinta.
-Annoying.

SEMBILAN BELAS
❄❄❄

Pandangan mereka menyatu ketika keduanya saling berhadapan. Ini situasi terburuk yang pernah Nico alami. Di hadapannya ada seorang gadis manis berambut hitam di kuncir kuda menatapnya gugup. Nico tahu, sekarang bukan saatnya dia untuk menanyakan perasaan Tassia dan bukan pula menyatakan perasaan Nico yang benar benar di luar dugaan. Bahwa Nico menyukai gadis itu.

Keduanya bungkam, tidak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Hebusan nafas menyatu dengan semilir angin yang menusuk dingin tulang tulang mereka. Membelai lembut rambut dan menerbangkan beberapa helainya.

"saya..."

"gue..." ucap Tassia berbarengan dengan Nico, hatinya ikut membeku tersentuh oleh kristal es milik Nico. "lo duluan, kak"

Nico menarik nafasnya terlebih dahulu. Membuatnya merasa tenang dan berfikir semoga ucapannya kali ini tidak membuat gadis di depannya terlihat payah. Karena Nico tahu selama ini Tassia terlalu kuat untuk memperjuangkan hatinya.

"saya mau..." kurang yakin dengan kata kata selanjutnya, "Kamu menjauh dari saya. Maaf, saya harus pulang sekarang," langkah lelaki itu gontai menuju kendaraan hitam di sisi taman. Nico langsung meninggalkan luka panjang di hati Tassia seperti terluka oleh belati.

Ini terlalu sakit, darah pun enggak untuk mengalir.

Tidak ada lebih dari lima detik kata itu di ucapkan dari Nico tapi berhasil membuat Tassia merasa dirinya seakan layaknya orang payah. Kakinya seperti agar, tidak bisa lebih kuat lagi berdiri. Menangis? Ya, Tassia ingin menangis sekencang kencangnya ketika lelaki yang di hadapannya tadi menghilang dari pandangannya. Terasa bendungan air mata yang ingin menerobos untuk membasahi pipi Tassia. Sukses, satu tetesan menerobos keluar dan yang lainnya menyusul. Tassia langsung menutup kedua matanya dengan telapak tangan yang sedari tadi menggenggam angin hampa.

Hatinya terasa remuk, belum sempat Tassia mengungkapkan bahwa dia menyukai lelaki itu lebih dari dia menyukai Fachri dulu. Tapi apa? Lima detik tadi sukses membuat pikirannya untuk perjuangan selama ini sia sia. Apa ini yang di rasakan wanita lain ketika mendekati Nico? Seperti ini kah rasanya ssperti di lukai oleh belati milik kesatria?

Payah, Tassia terlihat payah malam ini tidak seperti yang sebelumnya. Sembelumnya, dia kuat memperjuangkan perasaannya demi Nico --seorang kaka kelas yang sangat sulit di lelehkan hatinya, dulu dia kuat menerima teriakan memalukan dari Maya, dulu dia kuat menerima amukan cemburu dari maya, dulu dia kuat mengetahui bahwa nico menjauhinya diam diam. Membuatnya seakan dunia harus berdetik kekiri. Tapi itu tidak mungkin bisa. Saat ini dan detik ini, ucapan Nico masih menggema jelas di indra pendengarannya.

Fachri datang langsung menompang tubuh gadis itu dengan pundaknya, kepala Tassia yang tidak menyamai ketinggian Fachri, tenggelam di bahu lelaki itu.

"Nico ngomong apa, cha?"

Hanya terdengar tangisan segu gukan dari diri tassia. Tassia tidak ingin menjawab pertanyaan Fachri barusan. Dia hanya belum siap mengulang rasa sakitnya dan terlihat lebih payah dari pada saat ini.

Pikirannnya terlintas mengingat dua tahun sebelumnya. Dimana perkataan Lious Arlando-nya dulu terbukti dan benar terjadi saat ini dan Tassia merasakannya. Bahwa yang paling menyebalkan dalam urusan cinta adalah bukan menunggu seseorang itu peka. Tapi, menaruh perasaan pada seseorang yang tidak mengerti cinta.

Benar, apa kata Lio-nya itu. Tassia merasakan, salah menaruh perasaan. Menaruh perasaan yang bodoh akan urusan cinta.

Tassia melepaskan pelukannya, langsung menyeka pipinya dari air mata. "gue mau pulang."

"mata lo bengep, hidung lo merah kayak badut. Nggak suka," lolucon receh milik Fachri.

"lagian siapa juga yang suka sama lo,"

Fachri menatap Tassia dingin. "ah, tiga kali gue patah hati gara gara lo."

Tassia diam, mata nya terlihat sedikit membengkak. Seperti apa yang di bilang Fachri barusan. Terlihat jelas, melihat Tassia yang terus menerus meneteskan air matanya bahkan sudah di sembunyikan Tassia sekalipun. Fachri membawa Tassia menuju Vespanya tadi.

"udah jangan nangis, nanti gue yang di salahin." fachri mulai bingung cara menghentikan tangisan Tassia yang masih berlanjut sampai mereka menaiki vespa Fachri, "cha, gue takut orang lain nganggap gue yang ngapa ngapain lo."

Tassia memukul bahu Fachri yang terlihat lapang dari posisi tempat duduk penumpang. Walaupun Tassia masih nangis tapi tidak menghilangkan rasa kesalnya pada jelmaan setan depan ini.

"lho kok gue di pukul sih? Harusnya lo mukul dia. Apa perlu gue yang mukul?" pukulan Tassia menambah dua kali dan itu membuat Fachri meringis kesakitan karena pukulan yang cukup keras dari Tassia.

Jarak rumah Tassia dengan taman tadi tidak terlalu jauh dan hanya memerlukan waktu yang terbilang singkat apa lagi menggunakan kendaraa. Gerbang hitam sudah menghalang rapih, Tassiapun turun.

"gue langsung pulang ya?" Tassia hanya mengangguk. "selamat malam,"

Fachri langsung membelah jalan di depannya dan menghilang di belokan jalan. Tassia juga langsung masuk kedalam rumah milik orang tuanya yang terlihat lebih nyaman sekarang dari sebelumnya.

❄❄❄

Nico menghempaskan tubuhnya di atas sofa hitam yang berada di ruang tamu. Saat ini kakinya seperti tidak ada tenaga untuk menuju ke kamarnya di lantai dua. Seragam sekolahpun masih dia gunakan. Remaja yang satu ini masih saja memikirkan gadis tadi. Perkataannya masih di pertanyakan lagi, apakah Tassia langsung patah hati atau sebaliknya?

Terlintas pikiran untuk besok Nico tidak bersekolah.

Tapi,

Dia harus bertugas untuk hari guru. Nico mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia meninggalkan tugas demi menjauh dari Tassia? Ah, tapi memang sudah biasa Nico tidak mengerjakan Tugas osis yang di berikan kepadanya. Jangankan tugas Osis, datang untuk menghadiri rapat aja Nico jarang.

Setelah beberapa menit dia telah mengumpulkan kembali tenaganya untuk naik kelantai dua dan memasuki ruang pribadinya. Sudah malam, seragam sekolah masih melekat. Dengan cepat dia langsung membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya.

Malam ini, seperti biasanya. Sendiri di rumah yang terbilang cukup besar untuk hanya di tinggal satu orang. Kamar yang berukuran hampir 8 meter persegi, masih kurang membuat Nico betah berlama lama di rumah ini. Nico langsung meraih kasur empuknya dan bermanja manja dengan bantal. Menghangatkan tubuhnya dengan selimut, seharusnya dengan pelukan. Tapi apa boleh buat? Dia tidak punya siapa siapa, Tempo hari Nico baru saja memutuskan Maya setelah Maya berniat untuk melabrak Tassia di depan semua murid sekolah. Dan jelas, apapun itu yang membuat Nico malu, Nicopun membencinya.

Bernuansa abu abu, jendela kamar terbuka. Pemandangan yang menakjubkan. Indah. Namun sekaran Nico enggan untuk melihat ke indahan itu dan tepat ingin berada di atas kasur empunya serta memikirkan kata katanya tadi. Menyesal. Ya, Nico menyesal karena setelah di fikir fikir itu salah langkah. Bahkan dia sendiri tidak tahu perasaan Tassia dan hubungan Tassia dengan Fachri. Secepat itu dia mengambil keputusan untuk menyuruh Tassia menjauh. Ah sial, Nico terus mengutuk dirinya dalam hati. Dia salah langkah dan sekarang dirinya penuh penyesalan.

Kalau kata katanya di tarik kembali beberapa menit yang lalu, apakah bisa membuat Tassia lupa kejadian tadi. Atau membuat Nico menjatuhkan harga dirinya di depan gadis yang sedikit mulai sedikit di suka? Sepertinya Nico lebih berfikir kalau dia melakukan demikian, dia akan malu dan sangat malu. Dan harus dia fikirkan lagi.

A/n

Hell-o para reader yang tersayang? Eak eak. Gue ngantuk ngetiknya jadi maklumin ya maklum. Kebawa sahur.

Wkwkwkwkwk garing njir sumpah!

Selamat menunaikan ibadah puasa readers yuhuuuuu🙏

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang