LIMA PULUH TIGA . DUA
❄❄❄Masih dengan sejuknya pagi. Bandung menyediakan warna hijau yang merata di setiap mata memandang. Alunan angin yang membelai lembut setiap dedaunan di sekumulan pohon sana. Cukup damai, tapi tidak dengan suasana hati cowok dingin yang sedang menyaksikan langsung tawa hangat antara dua insan di bawah sana.
Nico memasukan kedua tangannya di saku celana. Wajahnya terlalu dingin untuk saat ini, pandangannya tajam, ada kata cemburu di balik pandangan matanya. Berkali kali ia menghela nafasnya singkat, mencoba untuk menenangkan pikirannya dari hal hal aneh yang saat ini bersarang.
Cukup. Pikiran Nico kini di penuhi ego kecemburuannya. Gadisnya tertawa hangat dan sesekali menyeruput susu cokelat dengan di temani cowok berambut spike.
Menatapnya intens dari balkon yang langsung memandang halaman belakang yang luas. Nico berdiri seraya menenangkan dirinya di atas balkon di temani suara gemuruh angin, tapi kali ini ia kalah dengan emosinya.
"Ternyata kamu disini, liatin apa sih Van sampai nggak mau ngalihin pandangan?" Tari melongok, matanya mengikuti arah pandang Nico. Di temuinya Tassia di halaman yang sedang tertawa hangat dengan seorang remaja. "Sini liat Bunda dulu."
Nico membalikan tubuhnya menatap Tari. "Kenapa, Bun?"
"Tadi papamu telpon, kalau besok ada acara keluarga. Bunda harus pulang pagi ini."
"Bunda pulang sama siapa?"
"Oh iya, tante Sovie sama Lio ikut pulang juga katanya." tambah Tari.
"Lho, kenapa?" tanya Nico, bingun.
"Nggak tau, bunda dijemput sama om Lucas, Tante Sovie sama Lio bareng sama Bunda katanya ada urusana." papar Tari, jelas.
Nico hanya menganggukan kepalanya, lalu tersenyum untuk yang pertama di pagi ini. "Yaudah bilangin om Lucas, bawa mobilnya hati hati."
Kecup bunda Tari di dahi Nico lalu melenggang pergi dari posisinya. Kembali lagi meninggalkan Nico dengan sunyinya pagi. Matanya kembali beralih menatap satu arah, tapi tidak ditemukan gadis manis disana. Ia mengedarkan oandangannya kesekitar, tapi nihil sama sekali tidak terlihat. Masih ada rasa cemburu yang terselip dihatinya.
"Nico, yang lain udah pada sarapan tuh. Tadi ibunya Tassia sama ibu lo udah masak, eh langsung pergi." papar Alfi seraya mendekat ke posisi Nico. "Lo kenapa?"
"Kurang enak badan, sok banget perhatian." ucap Nico dingin.
"Iyalah, guekan sahabat lo."
Nico melirik sinis, satu alisnya naik. "Sejak kapan?"
"Yai----" ucapan Alfi terpotong dengan suara ketukan pintu.
Arah pandang Alfi dan Nico ke sumber suara. Gadis manis menyembulkan kepalanya dan melihat ke dalam ruangan yabg langsung mempertemukan iris mata cokelat terang yang melihatnya sebentar lalu mengalihkan pandangannya. Tassia masuk membawa senampan sarapan, sudah pasti untuk Nico.
"Gue ganggu kah?" tanya Tassia seraya memasuki ruangan tersebut.
"Nggak, gue juga mau keluar kok." ucap Alfi datar. Ia sadar diri, karena melihat rawut wajah Nico yang sudah berbeda dari tadi. Alfi menepuk punggung Nico, lalu melenggang pergi.
Nico tidak melihat Tassia sejak awal. Ia hanya berdiri tegap dan melihat ke arah halaman belakang. Wajahnya dingin, pandanganya tajam.
Gadis manis itu meletakan nampan berisi sarapan di atas meja kecil. Lalu tersenyum ramah ke arah Nico walaupun cowok dingin itu sama sekali tidak melihat ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coldest Senior✔
Teen Fiction[Completed] Kalian tahu rasanya memperjuangkan seseorang tapi yang diperjuangkan sama sekali tidak mengerti artinya perjuangan? Dua orang yang selalu bertolak belakang. Tassia menyukai keramaian, heboh dengan dirinya sendiri, selalu punya teman bany...