29 | Jakarta

3.9K 145 0
                                    

DUA PULUH SEMBILAN
❄❄❄

Senja manis tetap setia dengan langit. Wangi Acqua selalu melekat di tubuh tinggi atletis milik Nico. Pakaiannya kini santai. Dia berhak libur kapan saja selama masalah di perusahaan papanya mereda. Bersandar di pagar balkon menghirup aroma senja yang lama kelamaan hilang.

Ada banyak hal yang bersarang di pikiran Nico. Perusahaan, Tassia, Rendy, dan Tassia. Bahkan dia tidak sempat memikirkan dirinya sendiri sampai garis hitam mengitari matanya, Nico kurang tidur nyenyak selama di Jerman. Pikirnya, kapan dia bisa pulang ke Jakarta menikmati senja di sana? Melewati masa sekolah lagi bukan mengurusi masalah orang dewasa.

Tepat, setelah senja ini usai. Hari lahir Nico di mulai keesokannya. Bahkan hanya keluarga dan Alfi saja yang tahu tanggal lahir Nico. Itu membuat Nico merasa tidak penting.

Mungkin kalau Nico masih di Jakarta, dia masih bersikap dingin kepada Tassia dan menjadi Monster es kepada semua cewe. Tapi pengalaman di Jerman memberi dia arti kerinduan, sunyinya rindu. Pikiran Nico akan Tassia sedikit cemas, banyak Rindunya. Apa mungkin Nico meninggalkan hatinya di Tassia?

Ah ya, Nico meralat pikirannya. Dia rindu dengan kemacetan ibu kota. Bukan... Tassia.

Tiga puluh menit habis hanya menikmati senja. Pikir Nico, kenapa dia bisa menyukai senja yang bahkan lama kelamaan akan menghilang dan melebur ke dalam sunyi? Apa itu artinya sama, kalau mencintai seseorang lama kelamaan dia akan mengilang dan melebur ke dalam sunyi?

Memikirkan senja hanya membuat gue semakin gila. Bantah Nico kepada batinnya sendiri.

Nico menuruni tangga dengan cepat namun sedikit santai, menghampiri pria berbadan sama sepertinya yang sedang asik menonton tivi. Usia pria itu lebih tua lima tahun dari usia Nico sekarang.

"Take care of the flight tonight, tomorrow I want to be in Jakarta." Suruh Nico yang melangkah ke dalam kamar untuk bersiap siap.

"Should I go to the head of?"

Nico berbalik badan dan menatap tubuh penasihatnnya dari jarak jauh namun dingin. "Do what I say!.. Now"

Penasihatnnya kaget. Ini kejutan yang membuat dia sibuk. Tapi ini sudah biasa, karena Nico sangat suka memberi kejutan aneh seperti ini bahkan bukan aneh lagi bisa di bilang gila. Langsung saja penasihat dengan jenggot tipis itu melangkah pergi mengurus semua surat surat dari pada harus berurusan dengan pemimpinnya yang dingin seperti Nico.

Enam belas jam Nico mengangkasa, dan bangun dengan suasana baru. Langit Jakarta, yang Nico rindukan sudah berada di atas kepalanya. Kaca mata hitam yang berjengger di hidung mancungnya menambah daya tarik Nico.

Hari spesial dalam hidupnya, berharap mereka semua ingat hari ini.

"Next, you want to go?" Tanya pria berjanggut tipis di belakang Nico berdiri.

Nico melirik arloji hitamnya yang melingkar di pergelangan berotot miliknya. Nico melakukan sedikit fitnes di Jerman kalau ada waktu senggang. Jarum pendek menunjukan ke angka dua. Jam jam segini seharusnya dia masih tertidur lelap di kelas mendengar ocehan guru. Agar terlihat lebih santai, Nico melepaskan blus hitamnya dan hanya tertinggal kaos putih yang melekat pada tubuh atletisnya.

"My home,"

❄❄❄

Dua lelaki berpakaian seragam asik berbincang bincang di pinggir lapangan. Sejak Nico pergi ke Jerman, Tassia semakin akrab dengan Alfi dan Fachri yang padahal ia anggap sebagai enemy.

Coldest Senior✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang