Hana, Ryuji, Mommy dan Leon berkumpul di ruang tamu. Meski enggan, Mommy memaksa Leon untuk masuk rumah itu walaupun baik Ryuji dan Hana tidak mempersilahkan mereka.
"Aku akan pergi ke luar untuk memberi beberapa minuman," Ryuji beranjak pergi dan Mommy pun mengikutinya.
"Aku juga akan pergi. Kalian berdua bisa bicara sekarang."
Mereka berdua pun pergi, memberikan privasi kepada dua pasang remaja ini untuk saling berbicara.
"Melihat reaksi lo tadi, gue rasa lo udah tau gue bisa mengerti mantra bahkan juga mengucapkannya," Leon memulai perbincangan.
Hana mengangguk, Leon tersenyum tanggung.
"Selama ini lo udah tau tapi lo diam aja? Dari sekian banyak waktu lo tetep milih buat nutup diri lo dari gue?"
Hana melihat ke arah lain, "Gue ga menyalahkan dan tidak juga membenarkan. Selama ini gue sama sekali gatau kalau lo bisa bahasa inggris, kalau gue tau gue ga bakal ceritain semua keputusasaan gue. Melihat lo datang hari ini dengan muka yang penuh kekhawatiran dan ngomong bahasa Inggris ngebuat gue ga ada waktu untuk terkejut. Dengan cepat gue sadar, bahwa emang selama ini lo ngerti semua apa yang gue ucapin. Lo hanya pura-pura bodoh, entah kebodohan untuk siapa," jelas Hana sedikit merasa kecewa.
"Maaf untuk kebodohan yang gue buat. Tapi gue hanya tau bahwa ini satu-satunya cara biar lo bisa cerita dengan leluasa ke gue, meskipun gue cuma bisa mendengarkan dan menganggukan kepala. Dengan begitu, gue bisa tau apa yang lo rasain sebenarnya. Gue cuma mau ngelindungi lo."
Hana menghela napasnya dan memandang lurus ke depan, "Makasih, Yon dan gue juga minta maaf karena selama ini ga peka dengan semua sikap lo."
Leon mengangguk, "Na..."
"Hm?"
"Ayo kita balik. Gue dateng buat jemput lo. Gue mau lo tinggal bareng gue. Nyokap dan bokap gue udah setuju buat ngelindungi lo, jadi lo ga perlu takut. Lo ga perlu kabur dan tinggal sama yakuza tua itu. Lo bisa kembali ke kehidupan normal dan ngelupain semua masalah yang ada. Lo bisa buat kehidupan baru."
Hana tercekat mengetahui Leon tau siapa Ryuji sebenarnya. "Darimana lo tau dia yakuza?"
"Na, lo pikir gue bodoh? Dari semua baju mahal dan pertengkaran dia dengan wanita di toko dessert itu, gue udah nebak dia bukan orang biasa. Terlebih ketika gue nanya kedua orangtua gue, dan mereka menjelaskan semuanya. Ingat, Na gue adalah anak dari pasangan polisi internasional dan anggota BIN."
"Tapi--"
Leon memotong, "Na, dia itu anak dari grup yakuza besar Jepang. Dia itu calon penerus yakuza Black Bird. Mereka bukan sembarang yakuza, mereka bisa bunuh siapapun yang membuat posisi mereka terancam. Gue ga pengen lo ada dalam bahaya. Yang gue tau, yakuza lo itu pergi dari kelompoknya. Kita ga pernah tau alasannya, bisa aja itu akan membahayakan lo."
Hana terdiam, dia mengingat kejadian saat Godaime datang beserta anak buahnya. Ia tersadar bahwa pria itu adalah ketua Black Bird yang Leon maksud. Alasan yang tidak diketahui itu bisa saja benar, bahaya bisa hadir kapan saja karena Ryuji sendiri pun dipukul di depan matanya. Untuk orang biasa seperti dirinya, melenyapkan buat soal yang sulit.
"Hana..." Leon kembali memanggil dirinya.
Gadis itu memejamkan matanya, merasa bahwa semua jalan kehidupannya terasa begitu rumit meskipun ia tau bahwa ia sendirilah penyebabnya.
"Semuanya akan berakhir sama, Yon."
"Maksud lo?" Leon tak mengerti.
"Tinggal sama lo, tinggal sama yakuza, atau tinggal sama malaikat maut pun semua sama aja."
"Gue bener-bener ga ngerti, Na. Jadi lo lebih milih yakuza dibanding sahabat lima tahun lo?"
"Gue hanya memilih sedikit orang untuk dibebani. Memilih lo berarti gue harus membebani lo, nyokap dan bokap lo. Kalau gue memilih yakuza itu, cuma dia yang akan gue bebani. Itu jauh lebih ringan buat gue."
"Na!" suara Leon meninggi.
"Yon, alasan kenapa selama ini gue ga cerita ke lo bukan karena gue ga percaya lo selalu ada buat gue. Gue percaya itu, tapi gue cuma ga percaya sama diri gue sendiri. Gue ga bisa membiarkan diri gue dikasihanin sama orang lain. Gue yakin lo akan seperti itu, sama seperti hari ini."
"Gue sama sekali ga kasihan sama lo, Na! Gue bener-bener tulus bantu lo! Karena gue--"
"Kasihan... Ya kan? Jujur sama diri lo sendiri, Yon. Jangan bilang alasan lo karena cinta. Sejujurnya gue tau lo suka sama gue, gue tau dari awal pertemuan kita karena lo satu-satunya orang yang gigih deketin gue dan ngehancurin tembok es yang gue bangun. Gue tau itu, tapi ketika lo datang hari ini dan bilang akan selalu ada di sisi gue, semua itu bukan karena rasa suka dan cinta. Itu adalah rasa kasihan, Yon. Lo harus bisa bedain itu."
Bagai terhujam tombak, Leon hanya bisa menutup rapat mulutnya. Ia tidak menyangka Hana membaca telak isi hatinya. Rasa kasihan yang ia bicarakan pun, Leon merasa itu benar meskipun ia tidak mau mengakuinya.
"Na, lo salah. Ini bukan kasihan. Gue bener-bener mau lindungin lo. Terserah lo mau lakuin apapun, gue ga bakal ngelarang. Tapi ijinin gue buat lindungi lo."
Hana menyentuh tangan Leon, berbicara tanpa menatap sepasang matanya.
"Ketika lo terluka sangat dalam hingga lo terlihat menyedihkan dan putus asa, orang-orang disekitar lo akan mulai menunjukan belas kasih. Mereka bakal mengkasihani lo. Mereka akan membantu lo. Alasan mereka bukan karena mereka ingin benar-benar membantu, tapi alasan yang sebenarnya adalah karena--" Hana mengangkat wajahnya dan menatap tepat ke sepasang mata di hadapannya.
"--mereka hanya tidak ingin seseorang menyedihkan ada di sekitar mereka. Mereka akan dengan egois menarik si menyedihkan pergi dari kesedihannya tanpa tau kenapa kesedihan itu ada."
"Yon... gue harap lo ga jadi para egois itu. Bagi gue, lo tau keadaan gue pun udah cukup. Gue bisa hadapain masalah gue sendiri tanpa bantuan atau lindungan siapapun."
"Na..." Leon hanya bisa memanggil namanya.
"Yon, gue ada permintaan yang entah bakal lu lakuin atau engga. Gue pengen lo tetep jadi sahabat gue dan lupain masalah yang gue milikin, gue pengen lo cuma liat gue sebagai Hana si superhero. Gue juga mohon banget supaya lo ga berkata apapun ke siapapun tentang identitas pria itu."
Leon menarik tangannya, "Bahkan sekarang lo ngelindungin dia, Na? Pria yang sama sekali ga pernah lo kenal?"
"Yon, tolong... gue mohon..."
"Gue ga bisa."
"Gue cuma ga pengen orang lain menderita gara-gara gue. Gue bakal nyalahin diri gue sendiri kalau itu terjadi."
Hana kembali meraih tangan Leon dan menggenggamnya erat.
"Gue berterima kasih banget lo udah nyari gue dan dateng ke sini. But I'm fine, seriously. Gue mohon banget lo bisa ngelakuin apa yang gue minta. Kalau tetap jadi sahabat gue terlalu sulit, lo cukup jaga rahasia tentang yakuza. Tolong, Yon."
Leon menghela napas dengan keras, ia merasa frustasi namun ada hal yang tidak bisa dipaksakan, termasuk urusan perasaan. Maka yang ia lakukan selanjutnya ada tersenyum untuk Hana.
"Oke, baik... gue bakal ngelakuin hal yang lo minta tapi hanya untuk soal yakuza. Untuk tetep jadi sahabat lo, maaf... gue ga bisa."
Hana mengangguk pelan, ia tak bisa menolak jadi ia hanya bisa menerima.
"Bukan sebagai sahabat, tapi gue bakal terus ada di sisi lo sebagai pria," sambung Leon, membuat Hana terkejut mendengarnya.
"Yakuza itu emang lebih tua dari gue, dan lebih berpengalaman tentang hidup. Tapi gue ga akan kalah, Na. Gue bakal jadi pria yang bisa lo andalkan. Sampai pada hari dimana lo bakal ngeliat ketulusan gue, dan berpaling ke gue dengan semua perasaan lo."
"Yon..."
"Gue ga menerima penolakan. Soal perasaan ga ada yang bisa melarang. Siapapun berhak untuk jatuh cinta, dicintai, dan mencintai."
°•.•°•.•°•.•°•.•°•.•° •.•°•.•°•.•°•.•°
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Old Man is Mine [INDONESIA]
RomansaJudul: Old Man is Mine - Buku 1 [INDONESIA] Seri: Old Man is Mine Bahasa: Indonesia Rekomendasi Usia: 18 tahun ke atas °•.•°•.•°•.•°•.•°•.•° •.•°•.•°•.•°•.•° Hana Naomi Sachie adalah seorang gadis berusia 16 tahun yang hidup di tengah keluarga yang...