Bagian 61 - Reason

1.8K 116 0
                                    


Hana meraih cangkir kopi latte dan meneguknya, membiarkan dirinya tenang sebelum melanjutkan cerita yang bahkan Leon pun enggan mendengarnya.

"Dihari ketujuh gue dikurung, kondisi gue bener-bener--" ia menjeda perkataannya, menghela napas, "--hancur."

"Dulu gue berpikir bahwa mungkin semua bisa dirubah, tapi kenyataannya sifat manusia itu abadi. Saat itu gue menyerah. Menyerah dengan harapan suatu saat mereka bisa berubah. Hari itu gue bertekad untuk lepas dari cengkraman mereka. Gue harus bisa mandiri dan gue harus berani. Gue ga mau terus menerus tunduk hanya karena alasan mereka orang tua gue atau hanya alasan mereka adalah keluarga. Yang gue tau, keluarga--"

"Adalah orang yang mendukung dan melindungi lo," Leon menyelesaikan perkataan Hana. "Maaf untuk ga tau apapun. Gue cuma bisa meraba-raba apa yang terjadi. Gue gatau kalau kenyataannya sepahit ini," ia mengangkat cangkir ekspreso dan meneguknya, "Bahkan ekspreso ini sekarang kalah pahitnya dengan hidup lo, Na."

Leon menatap Hana, "Jujur gue marah dengan semua orang yang berani melakukan hal sekeji itu sama lo. Kalau lo bukan temen gue pun, gue bakal tetap marah. Ga ada satu manusia pun yang berhak melakukan hal itu ke manusia lain. Tapi mereka bukan manusia lebih tepatnya."

Hana menghela napasnya, "Entahlah, Yon. Terkadang gue berpikir, apa yang udah gue lakuin sampai kehidupan gue kaya gini. Gue cuma bisa bersikap berani dan menghadapi semuanya."

Leon menaruh cangkirnya lalu menggunakan telunjuknya mengitari lingkar cangkir, "Na, lo tau kan pribahasa tidak asap tanpa adanya api?" dan Hana tentu saja mengangguk.

Leon menghentikan jarinya lalu mengarahkannya pada Hana, "Apa alasan sebenarnya lo cerita semua ini ke gue? Ga mungkin alasan lo sesederhana gue cuma mau berbagi cerita. It's more bigger than that, right? Apalagi seharusnya lo cerita ini semua ke om busuk itu, bukan ke gue orang yang ga lo pilih."

"Lo mau sarkasme ke gue? Nyindir gue?" respon Hana.

"Please, just answer. Gue udah ga bisa diperdaya dengan bullshit lo itu."

Pandangan mata mereka beradu. Leon menampilkan kebutuhan akan kejujuran lewat sorot matanya sedangkan Hana memperilhatkan bahwa ia tidak ingin membuka diri terlalu jauh. Namun tentu saja Leon tidak semudah itu menerimanya. Jika kamu memulai maka kamu harus mengakhirinya, itulah prinsip Leon dan ia terus menunggu Hana membuka mulutnya.

*****

Setelah mendapat telepon dari Takiro, Ryuji langsung bergegas keluar dan menuju mobilnya. Namun Soji menahannya untuk memberikannya payung.

"Tidak usah berterima kasih. Tapi jika kau bersikeras, aku hanya ingin kau memikirkan segalanya dengan tepat," Soji pun berlalu.

Ryuji langsung memasuki mobil dan melaju di tengah derasnya hujan.

"Aku bertanya-tanya atas dasar apa dia mempedulikan gadis itu. Jika itu cinta, aku meragukannya. Tapi aku bertaruh pada ucapanku sebelumnya, dia hanya melihat figur ibunya pada gadis itu. Rasa frustasi yang dipendamnya selama ini akan membuatnya terjatuh, juga menyakiti gadis itu," ucap Takiro seraya melihat mobil Ryuji yang semakin menjauh. "Pada akhirnya hanya akan dua pilihan, sama-sama menyembuhkan atau sama-sama melukai."

*****

PRANGGG...!

Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara tak terkecuali Hana dan Leon.

"Mamah sudah bilang, jangan taruh cangkirnya di pinggir meja dan jangan bermain ponsel saat sedang makan! Kenapa kamu tidak mendengarkan?! Lihat sekarang cangkir itu pecah, apa yang akan kamu perbuat?" seru seorang ibu memarahi anak perempuannya yang masih kecil.

Old Man is Mine [INDONESIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang