Bab 2 - Menguak Masa Lalu
Ketika suara Brian McKnight mengakhiri lagu, Lyra akhirnya menatap Prita.
"Aku udah tahu tentang keluargamu. Ayahmu meninggal tiga tahun lalu, ninggalin utang buat keluargamu, dan dua tahun lalu, ibumu meninggal karena sakit. Kamu punya dua adik, satu masih kelas tiga SMP, dan satu lagi masih kelas lima SD. Kamu kerja buat nafkahin mereka dan kamu pindah ke sini karena rumahmu dijual buat bayar utang. Oh, dan kamu juga barusan dikeluarin dari tempat kerjamu karena difitnah teman kerjamu."
Kata-kata Lyra mengalir begitu mudahnya, begitu lancarnya, sementara setiap kata demi kata terasa bagaikan belati yang menikamkan kenangan demi kenangan buruk ke dada Prita. Ia sudah nyaris berteriak, bagaimana Lyra bisa tahu, dan bagaimana bisa ia mengatakannya semudah itu, seolah itu hanyalah kata, hanyalah cerita dari sebuah novel, hanyalah karangan gila tidak masuk akal, sampai dilihatnya mata Lyra yang sempat terarah ke matanya, sekilas, hanya sekilas, menampakkan sorot tak nyaman, tak suka.
Amarah Prita tertahan saat teringat sekilas tatapan Lyra tadi. Bukan tatapan iba, bukan tatapan kasihan yang selama ini sering diterima Prita. Namun, tatapan terluka, tatapan seolah ia tahu betapa beratnya itu bagi Prita. Ada sesuatu tentang Lyra, mungkin kenangan yang sama buruknya dengan yang dimiliki Prita. Namun ... gadis seperti Lyra, dengan kepribadian seperti dia, seolah tidak akan ada masalah yang berani mengusiknya, benar-benar punya kenangan buruk, seburuk yang dimiliki Prita?
Ketika selama beberapa saat Lyra tak mengatakan apa pun lagi, amarah Prita terlupakan. Ya, gadis ini juga punya kenangan buruk yang mempengaruhinya, dengan begitu parah. Ya, mungkin memang bukan hanya hal baik saja yang ada dalam hidup gadis ini. Ya, Lyra mungkin hanya seorang gadis muda, sama seperti Prita, yang sedang berusaha menemukan tempatnya di dunia ini.
"Kamu nggak marah?" tanya Lyra kemudian, tanpa menatap Prita.
"Karena apa? Karena kamu tahu kebenaran yang cepat atau lambat orang lain juga bakal tahu?" sahut Prita kalem.
Lyra mengerutkan kening, terganggu, lalu menatap Prita tak setuju. "Aku bukan orang yang bakal ngomongin rahasia seseorang ke orang lain." Ia tersinggung.
Prita tak dapat menahan senyumnya mendengar itu. Lyra benar-benar polos. Jauh lebih polos dari yang terlihat.
"Bukan kamu. Tapi cepat atau lambat, orang-orang juga bakal tanya dan aku nggak mau bohong. Bahkan meski nanti mereka bakal ngelihatin aku dengan tatapan iba, kasihan, atau bahkan tatapan sinis, berpikir aku minta belas kasihan mereka, aku nggak punya pilihan lain. Aku juga nggak suka bohong dan nutup-nutupin apa yang sebenarnya terjadi sama hidupku. Bahkan meski itu bakal bikin aku kelihatan menyedihkan." Prita mengedik kecil.
Kerutan di kening Lyra semakin dalam. "Kamu ..." Gadis itu menahan kalimatnya, lalu mendengus pelan. "Nggak nyangka kamu bakal nyikapin masalahmu dengan sikap sedewasa ini."
Prita tersenyum. "Mau nggak mau, kan? Keadaan nuntutnya gitu. Semacam ... teknik pertahanan diri?"
Lyra mendengus pelan ketika akhirnya menatap Prita. Mata jernihnya seolah menggambarkan jiwanya, menembus kata-kata pedas dan wajah dingin nan juteknya. Prita bahkan tak sedikit pun ragu. Lyra adalah gadis yang baik. Jiwanya jujur. Bahkan dengan kata-kata pedasnya, sikap dingin dan kasarnya, serta kejutekan di wajahnya, gadis itu tak bisa menutupi apa yang berusaha ia sembunyikan.
Namun, yang membuat Prita penasaran, kenapa Lyra berusaha begitu keras untuk menutupi semua itu dan membungkusnya dengan rapi di balik topeng dinginnya? Mau tak mau, Prita penasaran. Apa yang terjadi dengan hidup Lyra sebenarnya? Atau lebih tepatnya, siapa gadis ini sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Be You (End)
General FictionTiga gadis muda dengan latar belakang berbeda, sama-sama sedang mencari tempat mereka di dunia yang kejam ini, dengan cara masing-masing. Dipertemukan di tempat yang tidak biasa, pabrik, kehidupan dan lingkungan yang keras harus mereka hadapi, denga...