Bab 3 - Keluarga

2.3K 256 7
                                    

Bab 3 - Keluarga

"Kak," Tasya memanggil Prita, tatapannya masih tertuju pada televisi.

"Hm?" sahut Prita seraya memindahkan tatap ke langit-langit. Tahu ia membuat Tasya tak nyaman dengan terus memandangi anak itu.

"Habis lulus SMP, Tasya nggak usah lanjut ke SMA ya, Kak?"

Pertanyaan Tasya itu kontan membuat Prita terduduk. "Sya?"

Tasya mendesah berat. Ia menoleh dan tatapan sedih Tasya sudah cukup menghancurkan hati Prita.

"Tasya pengen bantu Kak Prita. Tasya bisa ..."

"Nggak," sela Prita tajam. "Harus berapa kali Kakak bilang, kamu fokus aja sama sekolah. Masalah duit buat makan, sekolah, sama tempat tinggal, biar Kak Prita yang urusin. Dan jangan pernah ngomong kayak gitu lagi!" tegas Prita, sebelum ia beranjak berdiri, lalu masuk ke kamar mandi.

Prita menyalakan kran air kamar mandi, meski bak kamar mandi sudah penuh. Prita menggigit bibir saat menunduk, dan air matanya jatuh. Ia benci jika Tasya sampai harus berpikir seperti itu. Ia tidak ingin Tasya ikut memikirkan masalah seperti itu. Gadis itu berhak untuk bahagia, menikmati masa mudanya. Belum saatnya ia berpikir seperti itu, seberat itu, tentang masa depan mereka.

Namun yang paling menghancurkan hati Prita adalah, bahkan saat ini, ia sudah tidak bisa melindungi adiknya itu. Ia tahu dengan pasti, Tasya tidak akan pernah bisa lagi menjadi seperti teman-temannya, yang hanya fokus sekolah, atau bermain dengan teman seusianya, dan sekadar menikmati jalan-jalan ke mall dengan teman-temannya.

Ini menghancurkan hatinya, mengakui bahwa ia telah selangkah kalah dalam melindungi adiknya dari hidup yang belakangan begitu kejam pada mereka. Hingga Tasya berpikiran seperti itu, tampak seserius itu, tak sedikit pun ragu saat mengatakannya, Prita merasa ia tidak bisa menjaga adiknya itu dengan baik.

Tatapan sedih Tasya saat mengatakan inginnya untuk tak melanjutkan sekolah tadi bukanlah tatapan sedih karena ia tak bisa sekolah lagi. Namun, karena ia tahu apa jawaban Prita, dan ia sedih karena tak bisa membantu Prita. Bahwa ia pikir, ia menjadi beban bagi Prita.

Namun, Tasya mungkin tidak tahu. Alasan Prita bertahan selama ini, sejauh ini, adalah Tasya dan Damar. Hanya mereka yang Prita miliki. Karena itu, Prita akan melakukan apa pun untuk melindungi mereka. Jika bukan karena mereka, Prita pasti sudah memilih untuk menyerah akan hidupnya. Sepenuhnya.

***

"Kak Prita udah mau berangkat lagi?" Pertanyaan Damar itu menghentikan Prita di pintu kos mereka.

"Kenapa, Mar? Kamu butuh sesuatu?" Prita membalas dengan tanya.

Damar menggeleng, tapi anak itu tampak muram. "Cuma ... rasanya kok Damar makin jarang aja lihat Kak Prita. Kakak belum balik kalau belum jam dua belas malam, dan Damar pasti udah tidur. Pagi juga cuma sempat ketemu pas sarapan aja. Hari Minggu atau hari libur juga, kita nggak pernah pergi liburan lagi. Kak Prita makin lama makin sibuk sama kerjaan."

Prita menelan ludah, mendorong sesak yang membuat tenggorokannya tercekat. Ia melirik Tasya dan dilihatnya adiknya itu memalingkan wajah darinya.

"Maaf ya, Mar. Besok Minggu deh, Kakak bakal ajak kamu sama Tasya ke Manahan," janji Prita.

"Serius, Kak? Kak Prita nggak bohong, kan?" Suara Damar penuh harap.

Prita mengangguk dan tersenyum meyakinkan adik bungsunya itu. Dulu, ketika orang tua mereka masih ada, pergi ke stadion Manahan setiap hari Minggu adalah kegiatan rutin mereka. Namun, setelah ayah mereka meninggal, mereka mulai jarang pergi ke sana. Dan setelah ibu mereka menyusul ayah mereka, bahkan sekadar jalan-jalan di hari Minggu ke sana saja sudah seperti liburan bagi mereka.

Just Be You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang