Bab 16 - Throwing Pride

1.7K 215 20
                                    

Bab 16 - Throwing Pride

"Ryan nggak pa-pa?" Pertanyaan itu membuat Lyra akhirnya menarik diri dari pikirannya tentang Ryan dan Prita.

"Buat saat ini," jawabnya pada pria yang duduk di depannya itu.

"Gue masih nggak percaya, lo manggil gue duluan, bahkan setelah kejadian sebulan yang lalu," sebut pria itu. Ia menatap Lyra lekat, bahkan meski ia tahu betapa itu membuat Lyra tak nyaman.

Lyra mendesah berat. Ia tak punya pilihan lain. Dan ya, ia yang tadi menghubungi Erlan lebih dulu dan memintanya bertemu, menceritakan tentang Ryan dan Prita. Mengesampingkan masalahnya sendiri dengan pria ini, ia meminta bantuannya untuk menjaga Ryan. Membuang harga dirinya dan meminta pada pria ini. Suatu saat, Lyra akan menghajar Ryan untuk ini, karena membiarkan Lyra melakukan hal gila seperti ini.

"Karena gue harus ngejaga jarak dari mereka dan ngasih mereka waktu, gue nggak punya pilihan lain selain ..." Lyra ragu untuk melanjutkan. Haruskah ia mengatakan dengan mulutnya sendiri jika ia membutuhkan bantuan pria ini? Tidakkah cukup ia membuang harga dirinya di hadapan pria itu?

"Gue tahu." Erlan berbaik hati melepaskannya dari tanggung jawab itu. "Dengan kesabaran lo yang nggak seberapa itu, bisa-bisa lo ngamuk-ngamuk sendiri lihat kelakuan mereka."

Lyra berdehem, tapi tak menyanggah. Erlan juga sudah mengenal Lyra sejak SMA. Pria itu juga sudah sangat mengenal kelakuan buruk Lyra yang satu itu.

"Dan sebelum lo ngamuk lagi besok-besok kalau kita ketemu di pabrik," tiba-tiba Erlan berkata, "gue mau ngasih tahu lo, kalau gue bakal ke sana lagi besok. Kemungkinan besar kita bakal ketemu."

"Lo cuma perlu bersikap seolah kita nggak kenal," tandas Lyra.

"Gue juga niatnya gitu. Makanya gue ngasih tahu, buat mencegah elo mendadak ngamuk ke gue besok," balas Erlan santai.

"Ngapain gue ngamuk ke elo gara-gara lo bersikap asing, padahal itu yang gue pengen lo lakuin?" sengit Lyra.

Erlan tersenyum kecil. "Karena lo pasti bakal mikir kalau gue pamer, atau berusaha ngeledek lo, karena gue ada di sana ngewakilin perusahaan. Dan gue nggak mau lo mikir kayak gitu. Gue nggak mau lo salah paham sama gue, Lyr."

Lyra sedikit terkejut mendengar penjelasan Erlan.

"Gue nggak sepicik itu," desis Lyra. Setidaknya, tidak lagi. Sudah cukup ia mengonfrontasi pria itu sebulan yang lalu. Dengan begitu hebohnya. Sekali saja sudah cukup. Bahkan jika mengingat-ingatnya lagi, Lyra masih ingin memaki dirinya sendiri. "Lagian toh, ntar akhirnya gue bakal ngambil itu semua dari lo."

Erlan mengangguk tanpa ragu. "Kalau gitu, see you tomorrow." Ia berdiri.

"Lo udah mau balik?" refleks Lyra bertanya.

Erlan menelengkan kepala menatap Lyra. "Lo masih pengen di sini sama gue?" tanyanya seraya tersenyum. Senyum yang menyebalkan. Tidak. Pria itu saja yang menyebalkan. Semua hal tentangnya menyebalkan.

"Emangnya gue udah gila?" balas Lyra kejam.

Erlan menjentikkan jari. "Exactly."

Lyra melotot marah mendengar itu. "Lo ..."

"Gini nih, kata-kata lo sebelum ini tadi tuh manis banget, dan gue pengen malam ini berakhir dengan percakapan manis sama lo. Bukan kata-kata kasar dan umpatan lo. Apalagi teriakan marah lo." Erlan terdengar sedikit kesal. "Makasih, lo udah ngacauin harapan kecil gue itu."

Lyra berdehem pelan, tak tahu harus menanggapi bagaimana. Ia menyadari, terkadang ketika ia kesal masalah perusahaan, atau masalah Ryan pun, jika Erlan ada di sana, ia pasti akan melampiaskan kekesalannya pada pria itu. Menumpahkan amarahnya pada pria itu, tanpa sebab kesal dan marah pada pria itu, hanya karena ia ada di sana.

Just Be You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang