Bab 48 - Reason to Stay

1.7K 222 10
                                    

Bab 48 - Reason to Stay

"Sekali aja, kalian nggak berantem, nggak bisa, ya?" Suara Ryan itu membuat Erlan dan Lyra menoleh bersamaan ke sumber suara.

Erlan hanya tersenyum sementara Lyra mendengus kesal, sebelum mendorong tubuh Erlan mundur dan menyesap es cokelatnya.

"Gue emang ngajak kumpul hari ini, tapi bukan berarti gue ngizinin lo bawa dia, ya," sinis Lyra seraya melirik Ryan yang duduk di sebelah Prita.

"Mumpung Erlan lagi di sini. Dia bakal sibuk ngurus persiapan Fond Mode selama beberapa bulan di sini. Sekalian gue mau ngasih tahu lo," balas Ryan santai.

Lyra mendengus kasar, sementara Erlan tak sedikit pun mengalihkan tatap dari gadis itu.

"Kenapa dia yang harus ngurus Fond Mode di sini?" tuntut Lyra. "Nggak ada kerjaan di kantor pusat?" Lyra akhirnya menatap Erlan dengan tatapan meledek.

Erlan tersenyum. "Kalau di sini, gue bisa sering ketemu elo, kan?" balasnya santai. "Gue juga mau sekalian lanjutin urusan di pabrik tempat lo kerja. Bulan depan kayaknya lo nggak bakal bisa libur, deh."

Lyra memutar mata. "Nggak masalah sih, asal lo nggak sering-sering muncul di pabrik dan ngerusak mood gue aja."

"Itu ... kayaknya bakal susah," Erlan membalas.

Lyra mendesis kesal, tapi gadis itu tak mengatakan apa pun. Malah, ia beralih pada Prita dan bertanya,

"Kamu yakin, nggak mau ikut ke Jakarta? Om Haris sama Tante Sophie pengen kamu ikut, tuh. Tante Sophie lagi senang-senangnya ngurusin Damar katanya," ucap Lyra.

Prita tersenyum. "Aku belum bisa ninggalin Tasya, Lyr. Lagian, Damar bentar lagi kelas enam. Dia udah mau ujian juga. Nanti mungkin pas Damar libur sekolah aku bakal ngirim Damar ke sana."

Lyra mendesah berat, lalu menatap Ryan. "Lo tenang aja, gue bakal buruan nyelesaiin tugas gue di sini dan balik ke perusahaan," katanya.

"Emang udah berapa persen lo nyelesaiin tugas lo?" Erlan tak dapat menahan tanya. "Udah berapa banyak lo tahu tentang karyawan pabrik?"

Lyra berdehem dan tampak canggung saat menghindari menatap Erlan, membuat Erlan harus menahan senyum gelinya.

"Ini gue lagi berusaha. Sejauh ini, yang gue tahu, karyawan produksi nggak begitu dekat sama karyawan kantor. Masalah karyawan yang suka keluar-masuk pabrik, itu salah satu alasannya karena senioritas yang berujung pada bullying juga. Meski emang kerjaannya berat. Gue akui. Tapi kalau emang mereka udah niat kerja, harusnya mereka kuat dong kerja di sana. Gue juga nggak lantas kabur meski kerjaan di sana berat," angkuh Lyra.

"Itu kan, karena elo nggak punya tujuan lain selain di sana, dan juga, kerja di sana kan tiket lo buat balik ke perusahaan," balas Erlan santai, membuat Lyra menatapnya tajam.

"Masalah kebijakan libur atau off juga sebenarnya nggak jadi masalah karena tiap mereka lembur atau masuk di tanggal merah, mereka dapat kompensasi satu kali gaji harian," ucap Lyra.

"Yang masih gue belum tahu adalah, kenapa karyawan masih mogok bahkan meski semua permintaan mereka dituruti. Tunjangan kesehatan, udah. Cuti melahirkan lebih lama, udah. Kebijakan izin sakit, juga udah. Oh, insentif sama bonus juga udah. Tunjangan hari raya juga udah diturunin. Gue nggak ngerti, kenapa karyawan di pabrik gue itu sama sekali nggak bersyukur. Lihat aja ntar begitu gue masuk ke perusahaan, gue bakal tendang mereka semua," ucap Lyra penuh dendam. "Gara-gara mereka gue ada di tempat ini, ish," geram Lyra.

"Itu pun kalau lo bisa nyelesaiin masalah demo dan mogok kerja karyawan pabrik itu. Tapi, lo juga tahu, kalau nggak ada mereka, pabrik lo itu bisa tutup," kata Erlan. "Apa lo bahkan udah nyelidikin langsung ke pabrik itu?"

Just Be You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang