Bab 76 - Hold My Hand

1.5K 207 29
                                    

Bab 76 - Hold My Hand

"Lo mau di sini sampai kapan?" Lyra menatap Erlan cemas ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat, tapi Erlan masih duduk di depan meja di ruang kantornya.

Erlan mendongak menatap Lyra. "Kenapa?"

"Ini udah malam, Lan. Dan lo dari kemarin juga lembur terus sampai tengah malam. Ini bahkan hari Sabtu. Tapi, lo malah di sini dan ..."

"Ah," Erlan menyela. "Kita ada janji makan malam bareng kakak-kakaknya Dera, ya?"

Lyra mendesah berat. "Nggak jadi. Mungkin next week, atau entah kapan, kalau lo udah baik-baik aja."

Erlan mengerutkan kening. "Gue baik-baik aja, kok."

Lyra mendesiskan umpatan kesal. "Baik-baik aja? Karena itu lo sepanjang minggu ngurung diri di sini? Nenggelamin diri sama kerjaan?! Lo bahkan belum makan apa-apa dari tadi siang! Lo sebut itu baik-baik aja?!" Lyra meledak juga.

Erlan tersenyum. "Lo kenapa, sih? Gue kan harus ngeberesin kerjaan di sini sebelum kita balik ke Jakarta. Dan lagi, kalau selama sebulan ini penjualan di sini juga bagus kan, lo bakal lebih gampang pas balik ke kantor pusat ntar. Elo kan sekarang udah tahu, kalau gue ada di perusahaan lo cuma buat bantuin elo. Gue ..."

"Gue nggak butuh bantuan lo," sengit Lyra.

"Gue tahu. Tapi, itu yang gue rasain buat elo, jadi apa pun yang lo lakuin, gue bakal tetap ngelakuin itu. Lagian, gue nggak mungkin balik ke perusahaan kakek gue dengan tangan kosong, kan?" Erlan kembali tersenyum.

"Sialan, Erlan!" desis Lyra kesal seraya menghampiri meja Erlan, dan menyapukan tangannya ke meja kerja pria itu, membuat berkas-berkas di meja itu jatuh ke lantai dengan berisik.

Keributan itu membuat pintu ruang kerja Erlan terbuka dan Ryan masuk, hanya untuk menarik Lyra keluar dari ruangan itu, sementara Erlan memberesi berkas-berkasnya dengan santai, seolah tak terjadi apa-apa.

"Sialan, Erlan!" maki Lyra sebelum Ryan menutup kembali pintu ruangan itu.

"Lyr, please!" Ryan menatap Lyra frustrasi. Prita dan Dera yang juga ada di sana tampak cemas saat menatap Lyra. Namun, ini bukan saatnya Lyra menenangkan mereka.

"Lo mau minta gue nunggu berapa lama lagi? Lo mau nungguin dia berapa lama lagi?! Mau sampai kapan lo ngebiarin dia kayak gitu?!" Lyra balik berteriak pada Ryan.

"Apa lo tahu apa yang dia ucapin ke gue pas kita di rumah sakit? Dia bilang, akhirnya gue bisa ketemu sama nyokapnya. Gue, bukan dia! Dia nggak lagi meduliin perasaannya, Yan! Dan lo mau gue diam aja?! Bahkan pas di pemakaman nyokapnya, dia bilang ke gue, sayang banget waktu gue ketemu sama nyokapnya cuma bentar. Apa dia udah gila?!" Lyra memuntahkan emosinya. Ia sudah cukup menahan diri selama seminggu terakhir ini.

"Gue tahu betapa terlukanya dia, dan kalian juga lihat sendiri. Tapi, dia bahkan nggak sekali pun nunjukin kesedihannya. Nggak ada air mata setetes pun. Sok bertingkah semuanya baik-baik aja padahal dia lagi hancur. Bahkan di saat dia kehilangan nyokapnya, dia masih sempat-sempatnya mikirin gue sama perusahaan gue. Dan lo mau gue diam aja ngelihat dia bertingkah kayak gitu?" sengit Lyra.

Ryan mendesah berat.

"Kita nggak punya pilihan lain selain nunggu dia, Lyr. Erlan ..."

"Nggak," sela Lyra tajam. "Gue nggak bisa nunggu dia dan ngebiarin dia kayak gini lebih lama lagi."

"Kalau gitu jangan," Dhika tiba-tiba berbicara, membuat semua kepala menoleh padanya. "Jangan nunggu dia, buat dia datang ke kamu."

Lyra mengerutkan kening tak mengerti.

Just Be You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang