Bab 22 - Gadis Kecil yang Keras Kepala
"Kamu kemarin berantem sama Epik?" Lyra menyambut Dera dengan tanya begitu Dera tiba dan duduk di depannya di kafe tak jauh dari pabrik malam itu. Gadis itu menarik turun tudung jaketnya, memamerkan wajah kesalnya pada Lyra.
"Tuh cowok emang suka ngadu, ya?" dumel Dera.
Lyra tersenyum kecil. Dua hari kemarin, dengan emosi yang belum stabil seperti itu, sulit baginya untuk pergi bekerja. Ia khawatir akan mengamuk jika ada yang berkomentar tentang Prita atau Tasya. Namun ternyata, ketika dia berhasil menahan diri, justru Dera yang menggantikan perannya. Ada baiknya juga Ryan meminta bantuan Dhika untuk mengawasi anak ini.
"Tapi ... besok kamu udah masuk, kan?" tanya Dera.
Lyra mengangguk. Setelah Dera menyatakan perang dengan Epik kemarin, bagaimana bisa Lyra tenang di rumahnya? Jika hari ini bukan hari Minggu, Lyra juga pasti sudah akan masuk kerja hari ini. Jika Prita tahu apa yang dilakukan Dera, dia juga pasti sudah khawatir. Mengingat bagaimana ia terus mengingatkan Lyra untuk berhenti menakut-nakuti Dera.
Mendadak, ia merindukan saat-saat itu. Saat Lyra akan membuat Dera kabur darinya dengan lucunya, dan Prita akan menegurnya. Sebelum ini, Lyra tak pernah mau bersosialisasi dengan orang lain, tak mau berteman, kecuali dengan Ryan dan Erlan. Dengan catatan, Erlan adalah syarat untuk menjaga persahabatannya dengan Ryan. Yah, setidaknya Lyra berhasil mengembalikan akal sehatnya berkat keberadaan Erlan di sisinya beberapa hari terakhir ini.
"Prita ... gimana?" tanya Dera hati-hati.
Lyra mendesah berat. Entah apa yang harus ia katakan tentang Prita. Ia terus mengurung diri di kamarnya. Di hari pertama setelah pemakaman Tasya, ia memasak pagi-pagi sekali. Jam tiga dini hari, dan membuat jarinya teriris. Setelah kejadian itu, Ryan melarangnya ke dapur, dan jika bukan Ryan, maka pengurus rumah Lyra yang akan menyiapkan makanan Damar dan membantu mengurus keperluan sekolahnya. Meski pengurus rumahnya itu hanya bisa membantu dari pagi sampai sore saja di rumahnya. Ryan yang harus bekerja keras setelahnya.
Bahkan jika bukan karena Ryan, Prita mungkin tidak akan terpikir untuk mengisi perutnya dengan makanan. Lyra bahkan tak berani menemui Prita, tahu itu hanya akan menyulut emosinya lagi.
"Kayaknya buat beberapa waktu dia belum bisa kerja, deh," Lyra berkata.
Dera mengangguk-angguk.
"Besok pulang kerja aku mau nengokin Prita, boleh?" pinta gadis itu.
Lyra mengangguk. Ada baiknya begitu. Selama dua hari kemarin, alasan ia tak memperbolehkan Dera menemui Prita adalah karena ia tak ingin Dera ikut menangis juga. Di hari pemakaman Tasya kemarin lusa, Dera menangis separah itu. Jika melihat keadaan Prita saat itu, bisa-bisa dia akan menangis lagi dan membuat Prita semakin kacau. Namun tampaknya, kini Dera sudah baik-baik saja dengan emosinya.
"Tapi, kamu jangan nangis di depan Prita," Lyra mengingatkan.
"Tahu, tahu," balas Dera seraya mencomot roti bakar cokelat yang memang sengaja dipesan Lyra untuk gadis itu. "Hm, cokelat. Seleramu keren," gadis itu berkata.
Lyra mendengus kecil, geli. Namun, suasana tenang itu tak bertahan lama karena tiba-tiba, Ryan yang tampak panik, tersengal kehabisan napas, memasuki kafe dan menghampiri meja tempat Lyra dan Dera duduk.
"Lo kenapa?" tanya Lyra, berusaha tenang.
"Kalian nggak lihat Prita?" tanya Ryan.
"Prita ... kenapa?" tanya Dera, ikut cemas.
"Tadi aku keluar buat beli makan malam, tapi pas aku balik, Prita nggak ada. Damar juga nggak tahu Prita ke mana karena dari tadi dia juga belajar di kamarnya," Ryan tampak panik. "Argh, harusnya aku nggak ninggalin dia sendirian," ia mulai menyalahkan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Be You (End)
General FictionTiga gadis muda dengan latar belakang berbeda, sama-sama sedang mencari tempat mereka di dunia yang kejam ini, dengan cara masing-masing. Dipertemukan di tempat yang tidak biasa, pabrik, kehidupan dan lingkungan yang keras harus mereka hadapi, denga...