Bab 43 - Masa Lalu
Lyra mengamati Dera tak jauh dari gadis itu, sengaja tak ingin mengusiknya. Dera sedang duduk di belakang mesin, di tumpukan roll plastik, dengan tangannya terus bergerak lincah di atas buku sketsanya.
Ya, selama seminggu terakhir itu, Dera nyaris tak pernah lepas dari pensil dan buku sketsanya. Bahkan saat jam istirahat, saat mereka makan di kafe, atau saat di rumahnya. Begitu pun saat ini. Dera tampak begitu fokus dengan buku sketsanya. Lyra merasakan perubahan gadis itu selama seminggu terakhir ini.
Gadis itu bahkan tak sekali pun mengeluh meski hari ini tadi mereka tidak libur dan harus lembur. Kemarin juga tanggal merah dan mereka lembur. Dera benar-benar bekerja keras selama seminggu ini, dalam pekerjaannya, dan dalam mencari apa yang ingin dia lakukan itu.
Namun tiba-tiba, gerakan pensil Dera di buku sketsanya terhenti. Lyra mengerutkan kening ketika melihat Dera menoleh ke arah kerumunan karyawan lain yang bergerombol dan tampak membicarakan sesuatu. Lyra bahkan tidak perlu bertanya untuk tahu siapa objek pembicaraan mereka.
Para karyawan itu pasti tak melihat Dera hingga mereka berani membicarakan Dera seperti itu, bahkan setelah mereka tahu siapa Dera. Bahkan sebagian dari mereka adalah orang-orang yang pernah ditraktir Dera di kafe dulu. Lyra mendengus tak percaya mendengarkan obrolan mereka tentang Dera.
"Dikit-dikit ngeluh. Ngapain coba kerja di sini kalau kerjaannya tiap hari cuma ngeluh?" salah seorang karyawan berbicara.
Pembicaraan tak menyenangkan tentang Dera itu terus berlanjut, membuat telinga Lyra panas juga. Ia sudah berdiri, hendak menyerang orang-orang itu dengan semua keburukan mereka yang Lyra ketahui, ketika Dhika sudah berdiri di belakang Dera dan kedua tangannya menutupi telinga Dera.
Dera tampak terkejut ketika ia mendongak dan mendapati Dhika di sana.
"Jangan ngotorin telingamu dengan dengerin hal-hal sampah kayak gitu," Dhika berkata cukup keras, tegas.
Gerombolan karyawan yang tadi membicarakan Dera, tampak terkejut ketika melihat Dhika dan Dera, sebelum mereka buru-buru bubar sendiri-sendiri.
"Giandhika ..." Dera menyebutkan nama pria itu pelan seraya berdiri.
Dhika menarik tangannya. "Kamu tahu kamu lebih baik dari apa pun yang mereka omongin itu. Jangan buang-buang tenagamu buat dengerin orang lain. Cuma kamu yang tahu persis gimana hidupmu, dan gimana perjuanganmu selama ini."
Lyra pikir, Dera akan menghambur memeluk Dhika setelahnya, tapi kemudian gadis itu malah berteriak marah pada Dhika,
"Kamu! Kamu tuh sebenarnya maunya apa, sih? Konsepmu tuh, apa?! Kamu mau aku gimana? Kalau mau jadi orang baik, jadi orang baik aja. Kalau mau jadi orang jahat, jahat sekalian, jadi aku bisa sekalian kalau benci kamu!"
Sementara Dhika, diserang mendadak seperti itu, dia tak sempat menyembunyikan keterkejutannya karena rekasi Dera. Dia berdehem, lalu berbalik dan pergi begitu saja.
"Itu, tuh! Daripada omongan orang-orang itu, aku lebih pusing mikirin sikapmu yang seenaknya itu! Giandhika! Kamu dengar, kan?!" Dera berteriak.
Lyra hampir saja terbahak melihat itu. Apa Dera baru saja menyatakan perasaannya di depan umum? Namun tampaknya, gadis itu bahkan tak sadar akan apa yang barusan dilakukannya. Dia masih menggerutu ketika kembali duduk dan fokus dengan sketsanya.
Lyra dam-diam menghampirinya dan mengintip dari balik bahunya. Namun, gambar yang ada di buku sketsa Dera itu membuat Lyra terpaku, terpukau. Gadis ini berbakat dengan gambar. Gambar itu ... adalah gambar dari salah satu foto yang sempat mereka ambil bersama saat mereka melihat festival payung di taman Balekambang dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Be You (End)
General FictionTiga gadis muda dengan latar belakang berbeda, sama-sama sedang mencari tempat mereka di dunia yang kejam ini, dengan cara masing-masing. Dipertemukan di tempat yang tidak biasa, pabrik, kehidupan dan lingkungan yang keras harus mereka hadapi, denga...