Bab 1 - Si Cantik yang Dingin
Prita mengamati gadis berambut hitam lurus sepunggung yang duduk di seberang mejanya itu. Tangannya bergerak cepat memasukkan plastik ke dalam wadah plastik lainnya, menutupnya cepat dengan isolasi lalu tanpa menoleh ia melemparkan hasil kerjanya itu ke keranjang merah yang sudah sepertiga terisi di sebelah kanannya. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, dan terkesan begitu dingin.
"Jangan ngelamun mulu, buruan dikerjain itu," gadis berwajah dingin itu berbicara, cukup keras hingga Prita bisa mendengarnya di sela suara mesin potong yang berisiknya begitu mengusik. Ya, dingin. Tidak hanya itu, ekspresinya juga terkesan jutek. Prita saja tidak bisa mengumpulkan keberanian untuk menyapa gadis itu. Hanya satu hal yang ia tahu tentang gadis itu. Namanya Lyra. Alyra.
"Jangan digangguin mulu, Lyr. Ntar kalau dia sampai keluar kerja, salahmu ya," suara lain berbicara dari belakang Prita. Saat ia menoleh, dilihatnya seorang pria tinggi sedang memasukkan plastik-plastik yang sudah terikat rapi ke dalam sak. Rambut cepaknya basah oleh keringat, sementara dari pelipisnya kembali jatuh sebutir keringat yang entah kenapa justru membuat pria itu tampak maskulin.
"Kamu tuh, yang jangan ikut campur. Jangan gangguin cewek-cewek sini juga. Makin kecentilan ntar mereka." Nada judes itu mempertegas kejutekan di wajah dingin Lyra, sekaligus menyadarkan Prita untuk berhenti menatap pria tadi.
"Kamu tuh yang jangan jutek-jutek. Senang banget nyari musuh," balas pria dengan kaos seragam berwarna abu-abu itu. Bagian Umum, berdasar warna kaosnya.
"Emang sejak awal mereka yang nganggap aku musuh, kan? Emangnya ada orang yang suka sama aku di sini?" balas Lyra dengan nada meledek.
Dengusan meledek dari pria itu kemudian diikuti balasan,
"Masih bisa tanya? Udah jelas juga jawabannya apa."
Ekspresi Lyra masih tidak berubah. "Makanya. If you can't make them love you, make them fear you. Blair Waldorf said."
Prita tidak tahu siapa Blair Waldorf itu, tapi ia tahu arti dari kata-kata bahasa Inggris yang diucapkan dengan fasih oleh Lyra itu. Dan yah, kata-kata itu memang cocok dengan Lyra.
"Jangan bilang kamu nggak tahu siapa itu Waldorf," Lyra terdengar tak percaya.
Jangan bilang Lyra bisa membaca pikiran? Prita meringis.
"Nggak semua orang tahu Waldorf kali, Lyr," celetuk pria dari bagian Umum yang masih berdiri di belakang Prita.
"Dia datang dari planet mana coba, masa Waldorf aja dia nggak tahu?" Lyra tak terima.
"Bukan dia. Tapi kamu tuh, yang datang dari planet lain. Mars, bukan?" suara pria di belakang Prita itu meledek, membuat seikat plastik melayang ke arahnya.
Prita menoleh dengan kaget dan cemas, dan dilihatnya pria itu menangkap ikatan plastik dari Lyra tadi, bibirnya tersenyum miring.
"Nih, dikasih Lyra. Dia baik, kan?" ucap pria itu seraya menoleh pada Prita, mengulurkan seikat plastik dari Lyra tadi.
Prita tak tahu harus bereaksi bagaimana, tapi ia terpaksa menerima ikatan plastik itu saat pria itu menarik tangannya, meletakkannya di atas telapak tangannya. Dalam beberapa detik itulah Prita seolah merasakan sengatan listrik, yang sepertinya pria itu juga merasakannya.
Pria itu tampak mengerutkan kening sebentar, bergumam pelan, tapi Prita bisa mendengarnya, "Listrik statis," sebelum kemudian ia beranjak pergi.
"Mbak Yun! Ryan ngegodain anak baru mulu, tuh!" Sebuah suara dari sisi lain meja packing itu membuat Prita akhirnya tersadar dan menoleh ke sumber suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Be You (End)
Ficção GeralTiga gadis muda dengan latar belakang berbeda, sama-sama sedang mencari tempat mereka di dunia yang kejam ini, dengan cara masing-masing. Dipertemukan di tempat yang tidak biasa, pabrik, kehidupan dan lingkungan yang keras harus mereka hadapi, denga...