Bab 15 - Weakness

1.7K 229 18
                                    

Bab 15 - Weakness

Ryan yang berdiri di depan Prita, tampak terguncang ketika melihat gadis itu jatuh, hancur seperti ini. Ia bahkan tak membiarkan Ryan mengulurkan tangan padanya. Ia sendiri tak pernah menyangka, ia juga akan terluka seperti ini hanya dengan melihat Prita yang menangis, terluka.

Setiap kata yang meluncur dari bibir gadis itu bagai belati yang menikam jantungnya, berkali-kali, dengan luka dan kesedihan, penuh keputusasaan. Namun, gadis itu terus meminta Ryan pergi, tanpa tahu apa yang ia lakukan pada Ryan.

Ryan tahu, ini memang salahnya. Ia yang terlalu larut dalam bahagianya sendiri, hingga dengan egoisnya menutup mata dari kemungkinan gadis ini akan terluka. Ia yang berkeras berada di sampingnya, untuk melindunginya. Namun, pada akhirnya, ia juga yang memberikan luka pada gadis ini.

Ketika ia menyeret kakinya yang entah kenapa mendadak terasa begitu berat, menuruti pinta gadis itu untuk pergi, akhirnya Ryan menyadari. Dengan sangat menyedihkannya, ia jatuh pada gadis itu. Masa bodoh tentang semua perintah Lyra untuk berada di samping Prita dan melindunginya, hanya mengawasinya. Ryan bahkan sudah tak bisa menahan perasaannya lagi.

Tak ada yang ingin ia lakukan selain terus berada di samping Prita dan melindunginya. Namun kini, gadis itu mendorongnya pergi. Bukan orang lain, tapi Prita. Ryan bahkan tak bisa melakukan apa pun, ketika gadis yang ia inginkan, tak sedikit pun menginginkannya. Memangnya ia bisa apa, ketika satu-satunya gadis yang kini menjadi tujuannya, justru meminta Ryan pergi darinya?

Seiring langkahnya menjauh dari Prita, ia tak berani menoleh ke belakang. Khawatir itu akan membuatnya kembali pada gadis itu, dan semakin menyakiti gadis itu. Namun, Ryan bahkan tak bisa membawa langkahnya semakin jauh lagi. Ia berhenti di bawah lampu jalan, tatapannya tertuju ke arah jalan beraspal di bawahnya.

Hingga sebuah suara yang sedang tak ingin didengarnya, menyinggungnya,

"Dasar bodoh."

Ryan benar-benar tidak sedang dalam mood untuk bertengkar.

"Sekarang baru nyadar? Dulu ke mana aja pas gue suruh ngejauh dari dia? Sekarang udah telat kan yang mau nyuruh elo pergi juga?" Kesinisan Lyra itu bahkan tak bisa lebih menyakiti Ryan lagi.

"Gimana gue bisa ngejauh kalau lo nyuruh gue selalu ada di samping dia buat ngelindungin dia?" balas Ryan, setengahnya menyalahkan Lyra.

Lyra mendengus. "Makanya, gue bilang lo bodoh," sengit gadis itu. "Gue nyuruh lo ngawasin dia, ngelindungin dia. Bukan jatuh cinta sama dia. Bukan masalah elo yang nggak bisa ngelindungin dia. Tapi masalahnya, elo yang bakal bikin dia terluka juga. Toh akhirnya juga lo sendiri yang terluka kalau sampai dia terluka."

Ryan tercenung. Lyra benar. "Sejak kapan ... lo tahu kalau gue ... mulai suka sama dia?" Ryan menatap Lyra bingung.

Lyra mendesah berat. "Waktu lo langsung datang ke rumah gue malam-malam, cuma buat ngasih tahu apa yang terjadi di kosnya malam itu." Lyra kemudian mendengus pelan, geli. "Lo bahkan minta gue ngebalas mereka dengan cara gue. Padahal lo tahu lebih dari siapa pun cara balas dendam gue bisa jahat banget. Dan habis itu, lo balik lagi ke kosannya Prita, dan nungguin di sana semalaman."

"Ah," gumam Ryan pelan. "Sejak hari itu, ya?"

Lyra kembali mendesah. "Tapi, gue nggak nyangka bakal sampai sejauh ini juga," ungkapnya. "Gue selalu ngingatin lo, jangan terlalu dekat sama dia. Cukup awasin dia, pastiin dia aman. Dan itu kesalahan kedua lo. Ngabaiin peringatan gue."

Ryan mengangguk. Memang itu yang ia lakukan. Setiap kali Lyra mengingatkannya, ia selalu menjawab, ia tahu. Bisa dibilang, ia menutup telinganya dari peringatan Lyra. Hanya karena ia merasa nyaman berada di samping Prita.

Just Be You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang