44.

23.2K 1.3K 36
                                    

          "Terima kasih Lujin," sejenak wajah Abbey merasa panas karena malu dengan apa yang barusan terjadi, "Maaf, aku tidak membawa pembalut karena ini bukan jadwal bulananku tapi siapa sangka aku justru datang bulan." Pria itu tadi membelikan Abbey pembalut.

"Bukan masalah besar, datang bulan adalah hal yang wajar. Istirahatlah, aku akan mencuci sprei nya dan menyiapkan makan malam untukmu."

Abbey langsung menolak, "Biar aku saja, kau tidak perlu mencucinya," wajah Abbey bergidik ngeri bercampur tak enak ketika melihat Luigene yang sedang melepas sprei dengan sedikit bercak darah diatasnya, "Itu... kotor."

"Istirahatlah Abbey, ini hanya darah datang bulan, don't worry I can handle it." paksa Luigene yang bergegas keluar dengan sprei di tangannya.

" paksa Luigene yang bergegas keluar dengan sprei di tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah semalam tertidur dengan perut yang terisi penuh. Pagi ini ia disambut dengan aroma lezat yang menyeruak ke dalam indra penciumannya. Dengan bergegas Abbey menuruni anak tangga, bahkan hampir melompat.

"Apa ini? Baunya harum." mengambil duduk di meja makan yang berada di dapur.

"Waterzooi, ini adalah sup khas Amsterdam. Aku membuatnya untuk sarapan karena mungkin perutmu masih terasa sakit?"

"Sudah jauh lebih baik. Terlihat enak, boleh aku mencicipinya?" Luigene mengangguk kemudian ikut bergabung. Mereka sarapan bersama, mengobrol tanpa tekanan dengan tawa yang mengisi penthouse ketika mendengar candaan ringan yang dilontarkan Luigene.

Abbey tercenung ketika mendengar bunyi bel pada penthouse yang dengan jelas menginterupsi keduanya. Ia segera bangkit untuk membuka pintu tersebut, berharap besar itu James yang kembali.

Tetapi Abbey justru mendapati suaminya lagi dengan penampilan yang tak jauh berbeda seperti pagi kemarin.

"Arlington? Ada apa... apa ada barangku yang tertinggal lagi?"

"Selamat pagi, aku hanya ingin memberikan ini," puluhan tangkai mawar berwarna merah segar dalam satu bucket penuh kini beralih ke tangan Abbey, "Ada yang menjual bunga di jalan, aku merasa kasihan lalu membelinya,"

"Apa ini untukku?" tanya Abbey to the point.

"Aku ingin membuangnya tetapi mungkin—"

"Apa ini untukku, Arlington?" mendengar kegugupan dalam cara bicara Arlington membuat Abbey bertanya sekali lagi. Berusaha untuk menekan pria itu.

"Ya, untukmu."

"Apa susahnya mengatakan itu?" senyum Abbey merekah memperhatikan Arlington, "Terima kasih untuk bunga dan kejujuranmu."

ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang