SUARA

148 19 0
                                    

Tidak terlalu ramai. Dilalu lalangi oleh mahasiswa-mahasiswa yang berkepentingan dengan tugas-tugas dari dosennya. Kurang lebih seperti itulah suasana kampus hari ini.

Jam menunjukkan pukul 12.00. Azzam baru saja selesai menunaikan sholat dzuhur berjamaah di musholla kampus seperti biasanya. Dan saat ini, ia sedang berada di ruang dosen sembari menatap benda pipih yang menyala di hadapannya.

"Sosial media Aisya kelihatannya memang lagi offline semua."

"Apa dia baik-baik aja? Atau sebaliknya?"

"Kalau Aisya drop, gimana bisa aku bilang ke dia tentang semua kebenarannya. Itu bakalan beresiko sama penyakitnya."

"Orang yang dia suka aja belum tau apakah orang itu aku atau bukan."

"Hah, Astaghfirullah,"

Azzam menghela nafasnya sembari meletakkan ponselnya di atas meja. Nyatanya, permasalahan tentang Aisya ini benar-benar sudah memenuhi kepalanya. Keinginan untuk tidak menyakiti dua hati semakin sulit. Sebab nyatanya, Savierra sendiri sudah tersakiti karena rasa kecewa. Dan bukan tidak mungkin, Aisya juga akan merasakan hal yang sama.

"Assalamualaikum, Zam."

"Waalaikumussalam."

Azzam mendapati Hafidz yang baru saja masuk dan duduk di tempatnya.

"Udah sholat dzuhur, Zam?"

"Alhamdulillah udah. Ente nggak jamaah tadi?"

"Sayangnya tadi enggak. Biasalah, ada mahasiswa yang presentasi susulan."

"Susulan? Siapa?"

"Meisya, Zam. Tiga hari yang lalu dia izin nggak masuk. Presentasinya barusan tadi."

Mendengar Hafidz yang menyebut nama Meisya, Azzam menjadi teringat sesuatu. Ah, gadis itu. Azzam ingat bahwa akhir-akhir ini ia jarang bertemu dengan Meisya karena kesibukannya.

"Meisya izin kenapa, Fidz?" Tanya Azzam kemudian.

"Sakit, Zam."

Azzam menyadari sesuatu kala Hafidz mengatakan bahwa Meisya izin tidak masuk karena sakit. Azzam ingat bahwa ia pernah membantu Meisya yang pingsan dan membawanya di UKK. Dan pada hari itu juga, ia mengetahui tentang Meisya dan penyakitnya.

"Astaghfirullah,"

Mendengar Azzam yang beristighfar, Hafidz pun bertanya. "Kenapa, Zam?"

"Hah?"

"Ente tau sesuatu tentang Meisya?"

Hampir saja Azzam memberitahu Hafidz tentang Meisya. Namun ia ingat bahwa Meisya tidak ingin ada orang yang tahu tentang penyakitnya, bahkan termasuk keluarganya. Azzam cukup tau, Meisya tidak ingin membuat orang merasa khawatir terhadapnya. Mengingat Aisya yang juga sedang sakit dan lebih parah.

"Oh, e-enggak. Ane cuma kasihan aja. Kan tadi ente bilang, dia izin sakit."

"Oh, gitu. Iya, sih. Sebenernya nggak cuma sekali Meisya izin sakit. Ada mungkin beberapa kali."

"Bener, Fidz?"

"Iya. Padahal dulunya, Meisya hampir nggak pernah izin."

Azzam mencerna sesuatu dari perkataan Hafidz. Mungkinkah Meisya tidak masuk karena memeriksakan penyakitnya? Itu bisa saja terjadi. Azzam merasa prihatin mengingat Meisya yang saat ini memang sedang sakit. Ditambah lagi, keluarganya sedang mengurus pengobatan Aisya di Singapore.

"Tapi tadi, apa dia sudah sembuh?" Tanya Azzam lagi.

"Alhamdulillah, dia bilang sudah sembuh. Meisya menyelesaikan presentasi dengan baik, Zam. Ane juga lihat badan dia yang mungkin udah kelihatan lebih fit."

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang