MERAIH RASA

184 27 8
                                    

Mencintaimu biarlah menjadi kenangan. Aku tidak berusaha melupakan, sebab semua tentangmu adalah keindahan. Tuhan yang telah menitipkan perasaan. Kini, tugasku ialah mengikhlaskan. Inginmu begitu, bukan? Aku akan lakukan.

• Fairel Atharizz Calief •

¤¤¤¤

"Namanya Azzam, bukan?"

Meisya mengangguk. "Iya."

Fairel menghembuskan nafasnya perlahan. "Saya pernah beberapa kali berpapasan sama dia waktu kamu masih di rumah sakit. Menurut saya, dia orang yang baik. Saya harap, dia bisa membahagiakan kamu sepenuhnya. Juga menyempurnakan hidup kamu, seperti apa yang kamu mau,"

Mendengar ucapan Fairel, entah mengapa Meisya merasa ragu. Tapi apa yang diucapkan Fairel tadi ialah sebuah doa yang ia harapkan juga. Ia berharap semoga Azzam memang orang yang benar-benar akan memberinya sebuah kebahagiaan. Untuk menggantikan luka-luka yang selama ini telah menghujamnya.

"Masih berupa harapan, dok. Belum menjadi kenyataan. Saat ini, hanya aku yang menyimpan perasaan. Sementara Mas Azzam belum. Ada yang belum selesai. Antara aku, Mas Azzam, dan Mbak Savierra,"

"Rasanya ingin keluar dari semua itu. Tapi, nggak sanggup rasanya. Cinta itu sudah terlanjur ada,"

"Apa salah kalau aku ingin mempertahankan ini semua? Setidaknya ini semua adalah salah satu hal yang membuat luka-lukaku sembuh perlahan-lahan,"

Meisya memejamkan matanya sebentar. Membiarkan hatinya bersuara meski mustahil ada yang mendengarnya selain ia dan Allah saja. Alhasil, Meisya hanya bisa mengaminkan doa yang terselip dalam ucapan Fairel.

"Aamiin, terima kasih banyak, dokter."

Fairel mengangguk sembari tersenyum singkat. "Sampaikan salam saya untuk dia,"

"Iya."

"Dia pulang ngajar jam berapa?"

"Em, biasanya sore."

"Baguslah, seenggaknya, ada yang menemani kamu di malam hari. Biar kamu nggak sendirian lagi,"

Mendengar hal tersebut, batin Meisya terasa seakan tertampar. Bagaimana itu mungkin? Azzam yang menemani malam-malamnya? Tidak, bukan itu yang ada.

"Malam-malamku tetap sendiri. Tidak ada siapa-siapa yang membersamai," Batin Meisya.

"Mei,"

"I-iya?"

"Kenapa ngelamun?"

"E-enggak. Nggak apa-apa."

"Jadi, apa kita bisa tetap baik-baik aja setelah kamu tau semua perasaan saya terhadap kamu?"

Meisya menatap Fairel sebentar. "Saya nggak nyangka sebenernya, dok."

"Kenapa?"

"Nggak nyangka aja kalau dokter ternyata menyimpan rasa sama saya,"

Fairel menghela nafas mendengarnya. "Saya juga nggak nyangka,"

"Hah?"

"Ya iya, saya juga nggak nyangka. Kita nggak pernah tau perasaan kita bakalan jatuh sama siapa, Mei. Awalnya aja cuma nyaman biasa. Lama-lama ternyata bisa berubah juga. Kita nggak bisa nebak kan bakalan jatuh cinta sama siapa?" Ucap Fairel.

"Seperti saya yang nggak nyangka bisa mencintai kamu. Dan kamu yang ternyata mencintai Azzam,"

Meisya menunduk mendengarnya. Perkataan Fairel memang benar. Bahkan sampai saat ini pun, ia juga masih tidak menyangka bahwa Azzam lah yang menjadi suaminya. Ia masih tidak menyangka jika pada akhirnya, Azzam lah yang ia jatuhi rasa.

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang