Berjumpa lagi dengan pagi yang sama. Rupanya, Tuhan masih berbaik hati. Mengizinkan matahari kembali menyinari penduduk bumi. Memberi kehangatan hingga ke hati.
Meisya tengah berjalan menuju nakas. Mengambil glucometer miliknya, lalu mengecek gula darahnya. Pagi ini, gula darahnya cukup normal. Meisya tersenyum tipis melihatnya. Ia bersyukur, pagi ini Tuhan masih memberinya nikmat sehat.
Lantas Meisya beralih membuka mini fridge. Ia mengambil suntik insulinnya. Meisya menatap nanar benda panjang itu. Kemudian, ia menghela nafasnya.
"Sakit lagi badannya,"
Terkadang, Meisya masih merasa takut ketika akan menyuntikkan cairan insulin ke dalam tubuhnya. Rasanya memang sakit. Mencoba untuk terbiasa, tapi nyatanya rasa sakitnya memang luar biasa.
Beberapa saat kemudian, Meisya mulai menyuntikkan cairan insulin itu ke perutnya. Matanya terpejam, menahan rasa sakit yang menyerangnya. Belum lagi, bekas suntikan yang lain masih terasa nyeri. Begitu menyakitkan, namun ia harus berbuat apa?
Setelah jarum suntik keluar dari kulitnya, barulah ia bisa sedikit merasa lega. Meskipun sejatinya rasa sakitnya masih benar-benar terasa. Meisya terduduk di pinggiran tempat tidur. Ia menunggu sampai rasa sakit bekas suntikannya sedikit mereda. Sekaligus menunggu proses kerja insulin sebelum ia sarapan.
"Hah, sarapan apa ya pagi ini," Gumamnya sembari berpikir.
Hari ini, orang tuanya masih belum pulang ke rumah. Semalam, mereka hanya pulang sebentar untuk meletakkan barang-barang yang sempat mereka bawa ke Singapura. Setelah beristirahat sebentar, mereka langsung kembali ke rumah sakit untuk menunggu Aisya.
Beruntungnya, Wildan dan Dyana tidak melihat alat medis milik Meisya sama sekali. Karena semua alat-alat milik Meisya berada di kamar. Meisya bersyukur karenanya.
Setelah dirasa cukup, juga rasa sakit bekas suntikannya yang mulai mereda, Meisya pun berdiri. Ia beranjak keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur untuk sarapan.
Pagi ini, Meisya akan mengunjungi rumah sakit terlebih dahulu untuk bertemu dengan Aisya, Wildan, dan Dyana. Meskipun sebenarnya, Meisya masih enggan berbicara dengan Aisya sebab permintaan tidak masuk akal dari saudara kembarnya itu.
"Aisya ada-ada aja, sih. Gimana mungkin gue bisa memperjuangkan Pak Azzam coba,"
"Gue nggak yakin bisa menuhin permintaan Aisya atau enggak. Gue emang kagum sama Pak Azzam. Tapi, bukan berarti gue cinta juga,"
"Apa gue bisa mencintai Pak Azzam, ya,"
"Gua belum tau banyak tentang Pak Azzam juga,"
Meisya menggelengkan kepalanya. Semalaman ia memikirkan hal yang sama. Tentang permintaan Aisya yang memintanya untuk melanjutkan perjuangan cintanya. Tentang Aisya yang meminta Meisya untuk memperjuangkan Azzam. Semua itu cukup membuat kepalanya terasa pening.
Setelah Meisya menyelesaikan sarapannya, ia segera mengambil tasnya dan menghampiri Ajil. Rupanya, pria itu sudah siap untuk mengantarnya.
"Bang, ayo berangkat. Kita ke rumah sakit dulu, ya, bang." Ucap Meisya sembari memasang sepatunya.
"Iya. Yuk, Bang Ajil udah siap."
"Oke, bang. Tunggu sebentar, pasang sepatu dulu."
"Siap."
Setelah selesai memasang sepatunya, Meisya segera keluar dari rumahnya dan mengunci pagar. Lantas kemudian ia memasuki mobil. Baru setelah itu, mobil yang dinaikinya mulai berjalan membelah jalan raya.
¤¤¤¤
"Mei, lo ke sini."
Meisya menoleh ke arah Aisya setelah menyalimi Wildan dan Dyana. Lantas, Meisya meletakkan tasnya di atas sofa yang terdapat di ruang rawat Aisya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Imanku
SpiritualSequel "Sepertiga Malam Tentangnya" Baca dulu 👉🏼 "Sepertiga Malam Tentangnya" Ana uhibbuka fillah. Aku mencintaimu, karena kecintaanmu pada Allah. Kehidupan rumah tangga memang tak ada yang berjalan mulus. Pasti ada lika-liku yang mengiringi. Prob...