PERIHAL KITA

152 20 11
                                    

Mungkin, kamu memang menyembuhkan sebagian dari lukaku. Tapi perlahan, semakin sakit ku rasa, ketika aku sadar bahwa aku bukanlah yang pertama bagimu. Bahkan belum tentu menjadi yang terakhir bagi perahu cintamu.

Meisya Syahzeeqava

¤¤¤¤

Bibirnya tak henti tersenyum sedari tadi. Hari ini, Meisya selesai kuliah di hari pertama setelah izin beberapa hari. Tentu saja selama beberapa hari di rumah, gadis itu merasa bosan. Hari-harinya diisi dengan kegiatan yang tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Apalagi, terkadang ia merasa kesepian sebab ia lebih sering sendirian di rumah.

Bahagianya nampak sederhana saja. Meisya cukup bahagia ketika ia berhasil berdamai dengan segala rasa sakitnya. Ketika ia perlahan-lahan sudah mampu mengikhlaskan kepergian Aisya, juga mama dan papanya. Juga ketika ia mampu menerima keadaannya yang sekarang, dan mencoba terbiasa dengan itu semua. Diabetes tipe 1 yang sedang ada di tubuhnya, perlahan mulai dapat ia kendalikan. Meisya bahagia, sebab perlahan-lahan, harinya kembali seperti semula. Meski sejatinya, ada yang hilang dan membekaskan luka.

Ramainya jalan raya yang ia lewati, tak henti menjadi objek yang dilihat oleh matanya. Mata sayu itu, yang kini ia usahakan supaya bisa kembali berbinar layaknya dulu. Bahagianya bertambah sebab kini, ia sedang bersama Azzam. Ya, dosen muda yang sekaligus suaminya. Pria itu yang mengantar Meisya pergi ke kampus. Bahkan juga kini, dialah yang mengantar Meisya kembali ke rumah.

"Mas Azzam," panggil Meisya dengan pandangan yang tak teralihkan dari jalan raya.

"Ya?" Jawab Azzam sembari fokus mengendarai mobilnya.

"Boleh cerita sedikit?" Tanya Meisya lagi.

Mendengarnya, Azzam terdiam sebentar. Lantas mengangguki pertanyaan Meisya. "Boleh."

"Dulu, aku sering diajak papa sama mama jalan-jalan setiap hari sabtu dan minggu. Sama Aisya juga pastinya. Kita sering lewat jalan yang lagi aku dan Mas Azzam lewati sekarang,"

Azzam menoleh ke arah Meisya sebentar. Gadis itu nampak memandang jalan raya dengan tatapan sendu. Azzam menduga bahwa Meisya pasti sedang merindukan keluarganya.

"Aku kangen mereka," lirih Meisya kemudian.

Azzam sendiri bingung harus berbuat seperti apa. Sejujurnya, ia masih tetap canggung ketika sedang berada bersama Meisya. Tentu saja seperti itu. Sebab awal dari pernikahan mereka bukanlah perasaan yang sama, seperti saling mencintai contohnya.

"Mas Azzam," panggil Meisya pagi.

"Iya?"

"Kalau lagi kangen banget sama mereka, pengen peluk mereka, pengen ada di samping mereka, tapi mereka udah nggak bisa sama kita, terus kita harus apa?" Tanyanya.

"Mendoakan. Mereka pasti sudah bahagia, Mei. In Shaa Allah. Semuanya tergantung kamu. Kalau kamu bahagia, mungkin mereka juga akan bahagia. Di atas sana, yang mereka nantikan adalah kebahagiaan kamu."

Meisya tersenyum mendengarnya. "Apa di atas sana, mereka juga lagi bahagia ngelihat aku?"

"Sekarang, kamu lagi bahagia atau sebaliknya?" Tanya Azzam.

Meisya mengangguk kecil menjawabnya. "Sedang mencoba."

Beberapa detik kemudian, Meisya menoleh. Melihat Azzam yang nampaknya tetap fokus mengendarai mobilnya sembari bergeming mendengarkannya bercerita.

"Bahagia juga perlu diusahakan ya, mas." Ucap Meisya.

Azzam mengangguk sebagai jawaban. "Iya. Nggak seharusnya kamu terus-terusan jatuh dalam rasa sakit. Kamu akan menemukan kebahagiaan kamu. Kebahagiaan yang tentu juga akan membahagiakan keluarga kamu di atas sana."

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang