Kakinya melangkah ragu menapaki setiap lantai nan dingin. Bau obat begitu menyeruak menusuk hidung. Banyak orang berlalu lalang. Bahkan ada yang sedikit berlari karena mungkin disebabkan oleh sesuatu yang gawat.
Saat ini, Azzam sudah berada di rumah sakit. Seperti apa yang telah direncanakan sebelumnya, ia akan menjenguk Aisya dengan ditemani oleh Hafidz, rekannya. Di depannya, sudah ada Meisya yang menunjukkannya jalan ke ruang rawat Aisya.
"Em, Mei," Panggil Azzam.
"Iya?"
"Sejak kapan Aisya pulang?"
"Kemarin malam, pak."
"Kenapa nggak pulang ke rumah?"
"Kata mama, sepulang dari Singapura, Aisya masih belum bener-bener sembuh. Dia masih perlu dirawat lebih lanjut lagi di sini."
"Lalu kenapa pulang? Bukannya pengobatan di sana lebih bagus?"
"Entahlah, pak. Mama bilang, kondisi Aisya sudah mulai membaik. Alhamdulillah. Tapi saya sendiri kurang faham. Karena sampai sekarang pun, Aisya masih tetep menjalani perawatan yang sama."
Azzam mengangguk faham mendengar penjelasan Meisya. "Menurut saya, pengobatan pasien kanker di Singapura memang cukup bagus. Alhamdulillahnya Aisya bisa membaik setelah berobat ke sana."
"Iya, saya bersyukur juga karena itu. Selain itu, banyak support system juga buat Aisya, pak. Termasuk Pak Azzam juga kan waktu itu,"
"Saya?"
"Iya. Ya pesan suara yang waktu itu."
"Saya pikir, itu nggak berpengaruh, Mei. Pesan suara yang saya kirimkan hanya pesan suara biasa."
"Memang pesan suara biasa, pak. Tapi nyatanya, setelah dengar pesan suara itu, kondisi Aisya sudah mulai membaik."
"Ya Alhamdulillah kalau memang sudah mulai membaik. Tapi menurut saya, semua itu karena Allah. Juga pengobatan di sana yang benar-benar bagus dan menjamin. Bukan karena pesan suara dari saya,"
Sembari memasuki lift yang nampak kosong, Meisya tersenyum tipis. "Iya. Awalnya, saya sendiri juga nggak ngerti. Tapi yang pasti, sebelum mendengar pesan suara dari Pak Azzam, Aisya sudah mendengar pesan suara dari orang-orang terdekatnya, pak. Dan hasilnya tetep aja. Baru setelah dengar pesan suara dari Pak Azzam, mama bilang kondisi Aisya mulai stabil."
Azzam dan Hafidz saling menatap. Lewat tatapan itu, keduanya seakan sudah saling faham. Pikirannya seakan saling bertaut dan sefrekuensi.
"Mana mungkin bisa begitu," Lirih Azzam.
"Nggak ada yang tau kenapa semua itu bisa terjadi. Bukankah dunia punya rahasianya sendiri?" Ucap Meisya kemudian.
Azzam diam saja mendengarnya. Hafidz yang melihat raut wajah Azzam yang nampak resah pun menepuk bahu Azzam. Seakan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, asal selalu melibatkan Allah dalam setiap keadaan.
Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Azzam, Hafidz, dan Meisya pun keluar dari lift dan kembali berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Hingga akhirnya, tibalah mereka di depan sebuah ruangan.
"Ini ruangan Aisya, pak." Ucap Meisya yang diangguki oleh Azzam dan Hafidz.
Tangan Meisya terulur memegang knop pintu. Namun sebelum benda itu terpegang, pintu ruangan tersebut sudah terlebih dahulu terbuka. Nampak seseorang bersneli putih keluar dari ruangan tersebut dengan raut wajah khawatir.
Meisya yang mendapati kejadian tersebut nampak sedikit terkejut. Gadis itu bisa melihat seisi ruangan yang kosong sekalipun ia belum memasuki ruangan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Imanku
ДуховныеSequel "Sepertiga Malam Tentangnya" Baca dulu 👉🏼 "Sepertiga Malam Tentangnya" Ana uhibbuka fillah. Aku mencintaimu, karena kecintaanmu pada Allah. Kehidupan rumah tangga memang tak ada yang berjalan mulus. Pasti ada lika-liku yang mengiringi. Prob...