NASIHAT

201 24 1
                                        

Hari ini, Meisya mendapatkan banyak hal yang baru ia ketahui dari Aisya. Termasuk tentang 'pacaran'. Selama berpacaran dengan Reyhan, Meisya merasa bahwa hubungannya dengan Reyhan tidak melebihi batas. Tapi ternyata, setelah ia mendengar perkataan Aisya tadi pagi, ia merasa bersalah pada mama dan papanya.

Langkahnya berjalan gontai memasuki gerbang kampus. Ia memasuki gerbang bersamaan dengan beberapa mahasiswa lainnya. Namun, sejatinya ia sedang merasa sendirian. Meisya larut dalam pikirannya sendiri saat berjalan.

"Apa berarti selama ini gue udah numpuk dosa gara-gara pacaran, ya?" Ucap lirih Meisya.

Sejak Aisya memberitahunya sedikit tentang hukum pacaran yang sejatinya dilarang oleh agama, Meisya merasa gusar. Meisya tidak ingin melanggar hukum agama dan mendapat dosa. Tapi, lepas dari Reyhan juga bukanlah hal yang mudah baginya. Sebab selama ini, di balik Meisya yang menguatkan Aisya dan keluarganya, ada Reyhan yang menjadi salah satu penguat bagi Meisya.

"Gimana, ya? Gue bingung banget rasanya."

"Gue nggak mau numpuk dosa. Tapi, sulit juga kalau harus putus sama Rey."

Meisya berjalan tanpa menatap ke depan. Ia hanya menatap langkah kakinya yang melangkah gontai ke depan. Karena sibuk dan larut dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba Meisya tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang juga sedang berjalan memasuki gedung kampus.

Tubuhnya kelimpungan karena di sisi lain ia juga tersandung kakinya sendiri. Meisya hampir jatuh. Dan ia mengetahui itu. Tapi, ada tangan yang menyangga badannya. Ada seseorang yang menyelamatkan dirinya.

"Pak Azzam,"

Setelah memastikan Meisya tidak terjatuh, Azzam langsung melepaskan Meisya hingga gadis itu kembali berdiri tegak.

"Maaf, Mei. Saya cuma berniat membantu kamu supaya nggak jatuh. Maaf, saya nggak berniat menyentuh kamu. Karena kita bukan mahram."

Meisya terdiam. Ia masih terkejut karena tiba-tiba menabrak seseorang dan tersandung kakinya sendiri hingga ia sempat terjatuh. Namun di sisi lain, diamnya itu terfokus pada kata 'bukan mahram' yang diucapkan oleh Azzam baru saja. Seketika ia teringat akan perkataan Aisya tadi pagi.

"Em, gampangannya tuh, kalau kita sama papa, nah itu halal. Kalau nggak salah semahram gitu. Kalau kita punya wudhu nih, ya, terus kulit kita bersentuhan sama papa, wudhu kita nggak batal. Tapi kalau sama orang yang bukan mahram, ya jelas batal."

"Gitu, ya? Jadi nggak boleh?"

"Kalau setahu gue, sih, nggak boleh, Mei. Dosa."

"Dosa?"

"Iya. Gue memang belum tau banyak. Tapi setau gue kalau dalam islam udah dilarang, tapi kita masih nekat melakukannya, kita bakalan dosa. Nanti ujung-ujungnya mama sama papa juga yang dimintai pertanggung jawaban."

Meisya ingat bahwa tadi pagi Aisya mengatakan padanya bahwa bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahram itu tidak diperbolehkan. Meisya termenung mengingatnya. Ditambah lagi tadi Azzam mengatakan bahwa ia dan dosennya itu bukan mahram. Semakin banyak hal-hal yang dipikirkan Meisya saat ini.

"Mei,"

Hingga tanpa Meisya sadari, ia melamun di saat dosennya yakni Azzam, orang yang tak sengaja ia tabrak tadi masih berada di sana.

"Meisya,"

"Hah?"

"Kenapa?"

"E-em, nggak apa-apa, Pak. Oh iya, seharusnya saya yang minta maaf sama Pak Azzam. Tadi saya jalan nggak lihat-lihat. Sampai nggak sengaja nabrak Pak Azzam."

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang