Mentari pagi begitu hangat menyapa penduduk bumi. Cahayanya yang menerangi seakan memberi nafas kehidupan untuk memulai hari. Masing-masing manusia mulai mengais ilmu dan rezeki di atas bumi. Tidak lupa memulai hari dengan doa supaya diridhoi oleh sang Ilahi.
Meisya baru saja selesai sarapan dan bersiap berangkat ke kampus dengan menggunakan taxi online. Keluarganya belum pulang dari Singapore. Padahal, mereka sudah pergi sekitar 3 hari yang lalu. Sejujurnya, Meisya tidak mempermasalahkan hal itu. Justru, ia sedikit lega sebab ia bisa mengobati penyakitnya terang-terangan di dalam rumah tanpa ada orang yang tau sebab ia sendirian.
Sesudah sarapan, Meisya menyiapkan bekal untuk makan siangnya. Kini, Meisya sudah tidak bisa memakan makanan sembarangan. Jika tidak, maka ia akan mengalami komplikasi. Fairel juga sudah memberitahunya tentang makanan apa saja yang baik dikonsumsi olehnya.
Setelah itu, Meisya memberanikan dirinya untuk melakukan cek gula darah rutinnya. Untuk yang kesekian kalinya, Meisya masih takut. Namun mau tidak mau ia harus melakukannya. Alat-alat medisnya seperti suntik insulin dan lain-lain masih ia simpan di dalam kulkas di dapurnya. Karena Meisya sendiri masih belum membeli mini fridge untuk menyimpan insulinnya.
"Sshh,"
Meisya mendesis kesakitan saat tajamnya jarum lagi-lagi menusuk kulit di jemarinya supaya sampel darahnya keluar. Sejujurnya, Meisya masih belum terbiasa. Sejak kemarin malam, ia sudah harus rutin mengontrol gula darahnya. Bahkan, sebelum makan pun ia juga sudah mulai menyuntikkan insulin ke dalam tubuhnya. Terasa lebih menyakitkan, namun, Meisya tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha dan berdoa.
"Kalau bekas cek gula darah ini masih ada, terus jari-jari udah kepakai semua, masa iya harus ditusukin lagi jarumnya di bekas yang tadi? Hah, itu pasti sakit banget. Nyeri rasanya," Gumam Meisya di ruang tamu.
Pagi ini, gula darah Meisya terbilang cukup normal. Kemarin, Fairel sudah banyak mengajari Meisya tentang bagaimana cara menjaga gula darah agar tetap normal. Jadi, saat ini Meisya sudah cukup faham. Hanya saja, ia masih belum terbiasa dengan jarum-jarum yang harus ia tusukkan ke jemarinya untuk beberapa kali sehari.
Saat Meisya sudah siap dan hendak keluar ke rumah untuk menunggu taxi online yang sudah ia pesan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Tertera nama panggilan 'mama' di layar ponselnya. Meisya tersenyum sekilas dan segera mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo, Assalamualaikum,"
"Waalaikumussalam, Mei."
"Mama papa apa kabar di sana? Meisya kangen,"
"Mama papa baik-baik aja, Mei, Alhamdulillah. Kita kangen juga sama kamu di sana. Kamu apa kabar, Mei?"
Mendengarnya, ingin rasanya Meisya berkata bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Namun, itu bukanlah jawaban yang tepat bagi keluarganya yang jauh di sana. Meisya mencoba tetap tersenyum di balik luka yang ia sembunyikan dari keluarganya.
"E-em, Alhamdulillah, Meisya baik-baik aja."
"Alhamdulillah, mama papa lega dengernya."
"Aisya mana?"
Saat Meisya menanyakan pertanyaan tentang Aisya, ia tak kunjung mendapat jawaban dari mamanya. Seketika, Meisya khawatir akan keadaan Aisya di Singapore.
"Mama,"
"I-iya, Mei?"
"Kenapa diem? Aisya mana? Dia baik-baik aja, kan?"
"Em, Mei, sebenernya, mama telfon kamu juga mau ngabarin sesuatu."
"Ngabarin apa? Semuanya baik-baik aja, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Imanku
SpiritualSequel "Sepertiga Malam Tentangnya" Baca dulu 👉🏼 "Sepertiga Malam Tentangnya" Ana uhibbuka fillah. Aku mencintaimu, karena kecintaanmu pada Allah. Kehidupan rumah tangga memang tak ada yang berjalan mulus. Pasti ada lika-liku yang mengiringi. Prob...