Waktu terus berjalan, hingga sampailah pada penghujung pekan. Tidak ada yang lebih indah dari penghujung-penghujung pekan kala Aisya masih ada. Ya, itulah yang dirasakan oleh Meisya. Hari-harinya semakin terasa sepi. Padahal, ia sudah mencoba untuk menerima semuanya. Nyatanya, memang tidak semudah itu.
Tok tok tok
Meisya menoleh kala mendengar suara ketukan pintu. Hari ini ialah hari libur. Namun, Meisya tidak berniat pergi ke mana-mana. Ia sedang malas saja hari ini.
"Mama bukan, ya," Gumam Meisya. Lantas, Meisya beralih menoleh ke arah nakas. Ia melihat ke arah mini fridge nya. Lalu ia menggeleng. Tidak, ia masih belum siap untuk memberitahu pada keluarganya tentang penyakitnya.
"Waduh, harus disembunyiin dulu ini."
Meisya pun bergegas mencabut kabel mini fridge miliknya dan menyembunyikan benda itu di bawah tempat tidur. Baru setelah itu, ia berjalan mendekat ke pintu dan membukanya. Benar saja, di balik pintu tersebut ada Dyana yang sudah berdiri menunggu.
"Masuk, ma." Titah Meisya.
Meisya kembali duduk di atas tempat tidurnya dan disusul oleh Dyana yang melakukan hal yang sama.
"Ada apa, ma?" Tanya Meisya kemudian.
"Em, hari ini kamu ada niat mau pergi ke mana gitu? Atau mungkin udah ada janji sama temen?"
Meisya nampak berpikir. "Kayaknya nggak ada, sih."
"Beneran nggak ada?"
"Iya. Kenapa emangnya?"
"Kalau emang nggak ada, mama sama papa mau ajak kamu ke makam Aisya."
"Hari ini?"
"Iya. Mau?"
"Mau-mau aja."
"Ya udah. Kamu siap-siap, ya."
"Sekarang banget, ma? Ini kan masih pagi."
"Ya nggak apa-apa. Biar nggak panas juga. Biar bisa agak lama juga di makam Aisya. Mama kangen sama Aisya,"
Meisya tersenyum tipis. "Sama. Meisya juga kangen,"
Dyana menggenggam telapak tangan Meisya dan mengusapnya lembut. "Gimana? Udah sedikit lebih ringan perasaannya?"
Meisya hanya bisa mengangguk ragu. Sejujurnya ia sendiri belum benar-benar tau apakah ia sudah mengikhlaskan Aisya atau tidak. Meisya membiarkan perasaannya mengalir seperti air.
"Masih berat, ma. Tapi kan pelan-pelan memang harus nerima."
"Iya. Mama sama papa juga begitu, Mei."
"Nanti, lama-lama akan terbiasa, ma. Lagian, sekarang Aisya udah lebih bahagia. Dia nggak perlu berobat-berobat lagi, kan? Dia udah nggak sakit-sakit lagi. Aisya udah sembuh,"
Dyana memegang bahu Meisya dan tersenyum. "Aisya pasti seneng lihat Meisyanya sudah bisa ikhlas begini,"
Meisya tersenyum mendengarnya. "Meisya pengen Aisya tenang di sana. Sedangkan di sini, Meisya mau melanjutkan hidup seperti biasanya."
"Iya. Mama seneng kalau kamu udah bisa nerima, Mei. Oh, iya, nanti siang kita sekalian makan siang di luar aja kali, ya."
"Makan siang di luar, ma?"
"Iya. Udah lama juga nggak makan-makan di luar, Mei."
Meisya berpikir sejenak. Seketika ia kembali teringat akan penyakitnya. Jika ia makan siang bersama mama dan papanya di luar rumah, lantas bagaimana ia akan menyuntikkan cairan insulin sebelum ia makan? Itu artinya ia harus pergi ke toilet terlebih dahulu. Lalu menu makanannya? Ah, Meisya benar-benar bingung memikirkannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Imanku
SpiritualSequel "Sepertiga Malam Tentangnya" Baca dulu 👉🏼 "Sepertiga Malam Tentangnya" Ana uhibbuka fillah. Aku mencintaimu, karena kecintaanmu pada Allah. Kehidupan rumah tangga memang tak ada yang berjalan mulus. Pasti ada lika-liku yang mengiringi. Prob...