ORANG-ORANG BAIK

130 17 0
                                    

Nampaknya, sinar matahari mulai masuk ke dalam ruangan melalui celah jendela. Cahayanya menembus retina hingga matanya mengerjap-erjap hendak terbuka. Usai sholat shubuh tadi, ia ketiduran dengan masih memakai mukenah.

Meisya Syahzeeqava. Pagi ini, ia merasa badannya sedikit lemas. Kepalanya terasa pusing. Sebab itulah ia tertidur di atas sajadah dengan kepala yang ia sandarkan di pinggiran ranjang. Padahal sebelum shubuh tadi, ia sudah mandi terlebih dahulu karena badannya terasa gerah. Tapi saat ini, bahkan ia masih belum menyiapkan sarapannya.

"Sshh, kok pusing banget gini,

Meisya memegangi kepalanya. Rasanya, ia malas bangun meski hanya untuk sekedar berdiri dan melipat mukenah. Hingga kemudian, Meisya teringat sesuatu. Ya, gula darahnya.

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Meisya mencoba mengambil kotak medisnya. Ia mengambil glucometer beserta jarumnya. Barulah ia terduduk kembali. Ia berniat mengecek gula darahnya pagi ini.

Meisya mulai menusukkan jarum tajam itu pada salah satu jarinya. Hingga akhirnya darah segar keluar dari sana. Meisya segera meneteskan darahnya ke glucometer miliknya. Dan hasilnya ialah, pagi ini gula darahnya kembali rendah.

"Hah, rendah aja terus," Tukas Meisya pada dirinya sendiri.

Meisya kembali memegangi kepalanya. Rupanya, yang membuatnya lemas pagi ini adalah gula darahnya yang rendah. Badannya pun terasa hangat. Beruntungnya ia tidak sampai demam tinggi.

"Sarapan apa ya hari ini,"

"Belum ngecek di kulkas juga."

Meisya benar-benar merasa malas bergerak kemana-mana. Namun jika dia tidak makan sesuatu, gula darahnya akan semakin rendah dan tubuhnya akan semakin lemas. Itu akan berakibat tidak baik terhadap tubuhnya.

Beberapa saat kemudian, Meisya memutuskan untuk melipat mukenahnya dan berniat pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Namun saat ia ingin keluar dari kamar, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Meisya segera mengambilnya dan segera melihat siapa yang telah menelfonnya pagi-pagi.

"Dokter Fairel,"

Meisya tersenyum kala nama Fairel tertera di layar ponselnya. Setiap kali Meisya merasa tubuhnya mulai lemah, Fairel selalu ada untuknya. Entah Meisya yang mengabarinya atau Fairel sendiri yang datang pada Meisya. Terkadang, mereka berdua memang tidak bisa ditebak.

"Hallo, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

"Ada apa, dok? Saya harus tes seperti waktu itu lagi?"

Dari seberang sana, Meisya bisa mendengar suara Fairel yang tertawa pelan. Meisya ikut tersenyum juga jadinya. Ia menyadari sesuatu setelah itu. Setiap kali ia merasa lemah, Fairel lah yang datang mengembalikan senyumnya.

"Bukan itu, Mei."

"Terus?"

"Hari ini kuliah libur, kan? Kamu, ada rencana mau pergi, kah?"

"Em, enggak, dok. Saya males keluar rumah. Badan saya lemes."

"Lemas lagi?"

Meisya menepuk pelan jidatnya kala ia tak sengaja mengatakan bahwa badannya sedang lemas. Ia takut Fairel akan menceramahinya banyak hal. Sebetulnya, Meisya tidak ingin merepotkan Fairel. Ia tau dokter mudanya itu sangat peduli padanya. Oleh karena itulah, terkadang Meisya tidak memberitahukan kondisinya selama ia bisa mengatasinya sendiri.

"Mei,"

"I-iya."

"Kenapa bisa sampai lemas lagi, Mei?"

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang