HATI YANG MENGHANGAT

159 18 2
                                    

Niat hati ingin peduli, namun nyatanya aku tak ingin kamu pergi. Niat hati ingin memberi rasa aman, namun nyatanya aku terjatuh dalam pintu hati yang kuncinya telah ku patahkan. Katakan, cinta kah yang sedang aku rasakan?

• Fairel Atharizz Calief •

•°•°•°•

Masih di tempat yang sama, tempat yang memberinya kehangatan setelah sekian lama dipeluk oleh dinginnya keadaan. Senyuman hangat yang ia dapatkan dari orang-orang baik di hari ini membuat dirinya banyak mengucap syukur pada Tuhan. Maha Baik Allah, yang tidak pernah membiarkan hamba-Nya dipeluk oleh luka sendirian.

Masih berada di rumah Fairel, juga masih bersama Ibu Hafshah, ibu dari dokter muda nan tampan itu. Meisya mempelajari banyak hal dari wanita paruh baya itu. Tentang memasak, menanam, kesehatan, bahkan juga perasaan. Mereka telah membicarakan banyak hal hari ini.

"Ibu suka banget menanam, ya?"

Saat ini, Meisya dan Hafshah sedang berada di pelataran rumah. Banyak sekali tanaman-tanaman cantik yang sedang di rawat oleh mereka. Entah memberi pupuk, tanah, atau sekedar disiram.

"Ibu hobi banget sama menanam, Mei."

"Wah, pantesan aja rumahnya ibu adem banget."

"Gitu, ya?"

"Iya. Hijau-hijau gitu, bu. Banyak tanamannya."

"Hehehe, dulu, ibu selalu rawat tanaman-tanaman ini bareng sama ayahnya Fairel. Dan semenjak beliau nggak ada, ya ibu rawat sendirian aja. Kadang Mirza juga ngerawat kalau ibu lagi ke coffee shop."

"Masyaa Allah, maaf, bu, Meisya jadi ngingetin ibu sama mendiang ayahnya dokter."

"Nggak apa-apa, Mei. Kan sudah takdirnya. Sesuatu yang kita punya adalah titipan. Sewaktu-waktu Allah bisa ambil kembali apa yang pernah dititipkan ke kita. Kita cukup harus ikhlas meskipun berat. Lagian, ibu seneng-seneng aja kalau lagi bahas tentang ayah."

Mendengar penuturan Hafshah, Meisya seketika teringat akan Aisya. Setiap pembahasan yang membawanya pada topik kematian, selalu mengingatkannya akan Aisya yang sedang terbaring lemah tanpa daya. Jika suatu saat Aisya pergi, Meisya juga harus merealisasikan rasa ikhlas yang sama, bukan? Sama seperti Ibu Hafshah yang sudah mengikhlaskan kepergian mendiang suaminya.

"Meisya,"

"Eh, iya, bu?"

"Kenapa ngelamun?"

"Em, Meisya cuma keinget sama Aisya aja, bu."

"Oh, iya, Fairel pernah cerita sama ibu. Katanya Aisya berobat di Singapore, ya?"

"Iya, bu."

"Ibu bantu doa, semoga Aisya bisa cepat sembuh. Terus pulang lagi ke sini biar kalian bisa bareng-bareng lagi, ya."

Meisya tersenyum mendengarnya. Tentu saja Meisya menginginkan hal yang sama. Tentang kesembuhan Aisya yang sudah ia inginkan sejak lama. Juga tentang kesembuhannya yang sampai saat ini masih ia usahakan.

Beberapa saat kemudian, Hafshah membawa Meisya ke dalam pelukannya. Awalnya Meisya terkejut mendapati pelukan itu. Namun beberapa detik kemudian, Meisya lah yang mengeratkan pelukan tersebut.

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang