SUARA LIRIHNYA

157 18 0
                                    

Masih di tempat yang sama, tentunya dengan perasaan yang sama pula. Perasaan rapuh, lemah tanpa daya. Perasaan lelah, letih dengan semua yang ada. Hatinya terasa begitu remuk dan redam. Namun usapan tangan yang menguatkan itu kembali membuat hatinya menghangat.

Meisya mengangkat kepalanya dan membawa tubuhnya lepas dari pelukan Fairel. Ia sadar akan apa yang ia lakukan. Ia memeluk Fairel. Namun, ada sesuatu yang ia rasakan. Ya, perasaan bersalah. Tidak seharusnya Meisya melakukan itu, bukan? Namun, apa salah jika ia menginginkan pelukan hangat kala rapuhnya datang? Sedangkan ia hanya sendirian saja.

"Maaf, dokter." Cicit Meisya dengan begitu lirih.

"Nggak apa-apa."

Setelah itu, baik Meisya maupun Fairel sama-sama terdiam. Rasa canggung kembali hadir di antara mereka. Keduanya sama-sama bingung harus memulai percakapan dari mana.

"Mei,"

Hingga akhirnya, paggilan Fairel membuat Meisya menoleh pelan. "Iya?"

"Sebenernya, tadi kamu nangis karena apa?" Tanya Fairel.

"Apa kamu ngerasa ada yang sakit lagi, Mei?" Tambahnya.

Mendengarnya, Meisya menghela nafas berat. Namun di samping itu, dadanya sudah terasa sedikit lebih ringan. Keberadaan Fairel membuatnya merasa bahwa ia memiliki wadah untuk menampung ceritanya.

"Tadi, mama baru aja telfon saya." Ucap Meisya memulai cerita.

"Ada apa? Mengabarkan tentang Aisya?"

Meisya mengangguk sebagai jawaban.

"Lalu kenapa? Kenapa kamu sampai menangis gini?"

Meisya menunduk. Fairel bisa mendengar suara Meisya yang semakin lirih. Namun ia masih tetap bisa mendengar cerita dari gadis itu. Fairel begitu memahami Meisya. Ia faham, Meisya membutuhkan telinga yang siap mendengarkan semua cerita dari suaranya.

"Aisya lagi nggak sadar, dok,"

"Astaghfirullahal'adzim,"

Fairel beristighfar. Sejujurnya, ia juga terkejut mendengar kabar itu. Bukan suatu kabar yang melegakan hati. Namun kabar yang membuat hati tambah sesak. Sekarang ia faham, mengapa tadi Meisya menangis sepilu itu.

"Terus, kondisi Aisya gimana?"

"Kemarin, Aisya habis kemoterapi. Dan efeknya masih berlanjut sampai hari ini. Banyak alat-alat medis yang dipakai di tubuh Aisya, dok. Saya bisa lihat Aisya yang lebih kurus dari biasanya. Aisya sedang nggak baik-baik saja, dok,"

Mendengarnya, Fairel merasa terpukul tentu saja. Dulu, ia juga sempat menangani Aisya. Namun nyatanya, Tuhan memberikan jalan lain untuk kesembuhan gadis itu. Fairel mencoba menenangkan Aisya dengan mengusap-usap kembali bahu Meisya. Fairel ingin menguatkan gadis itu. Tentu saja Fairel tidak ingin melihat Meisya menangis lagi.

"Akhir-akhir ini, mama bilang kalau Aisya sering drop."

"Sering drop?"

"Iya. Kondisinya semakin menurun. Bahkan, dia lebih banyak menutup mata, dok."

"Mei, kamu harus percaya kalau Aisya pasti sembuh, ya."

"Saya ingin percaya, dok. Tapi di sisi lain, saya juga takut. Saya takut sama semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi."

"Mei, kemungkinan terburuk yang akan terjadi sama Aisya, juga sama dengan kemungkinan terburuk sama apa yang akan terjadi pada semua manusia, kan? Semua manusia akan sama-sama meninggal, Mei. Semua yang kita punya adalah titipan. Yang sewaktu-waktu bisa Allah ambil lagi. Aisya juga milik Allah, Mei."

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang