Mentari pagi ini begitu cantik. Ia mulai keluar dari tempat peristirahatannya. Lantas memulai tugasnya untuk menyinari dunia. Sinarnya begitu terang dan menghangatkan.
Sang gadis membuka tirai jendela. Lantas matanya menyipit kala sinar mentari masuk ke dalam kamarnya melalui celah. Bibirnya tersenyum. Perlahan-lahan, ia mulai bisa mengobati lukanya. Perlahan-lahan, ia mulai menemukan kembali tujuan hidupnya. Perlahan-lahan, ia mulai menemukan kembali bahagianya.
Meisya kembali teringat akan keluarganya. Namun kali ini berbeda. Bukan lagi luka yang ia ingat. Namun sebuah harapan. Sebuah harapan yang ingin ia wujudkan untuk keluarganya yang sudah tenang di alam sana. Ya, keluarganya lah tujuan hidupnya saat ini. Meisya ingin membuat keluarganya tersenyum bahagia di atas sana. Meisya ingin meraih mimpinya. Karena mimpinya adalah mimpi keluarganya juga.
Meisya membuka jendelanya dan membiarkan sejuknya udara pagi masuk ke dalam kamarnya. Lantas setelah itu, Meisya beranjak keluar dari kamarnya dan masuk ke dalam kamar mendiang mama dan papanya.
Perlahan, Meisya membuka knop pintu. Lantas setelah itu ia memasukinya. Meisya menatap sekeliling. Kamar itu begitu sunyi. Tak berpenghuni. Kamar yang dulunya selalu ia ramaikan bersama Aisya juga mama dan papanya. Kini, semua canda tawa itu sudah tak lagi ada.
Meisya berjalan masuk perlahan-lahan. Menatap semua yang ada di dalamnya dan mengenangnya. Kenangan-kenangan terindah sepanjang perjalanan hidup Meisya. Kini, hanya kenangan-kenangan itulah yang ia punya. Meisya merasa, ia sudah cukup kehilangan orangnya. Ia tidak mau jika sampai kehilangan kenangannya juga.
Meisya berjalan menuju jendela. Ia membuka tirainya juga jendelanya. Hingga sinar mentari dan sejuknya udara pagi juga masuk ke dalam kamar mendiang orang tuanya. Meisya tersenyum setelahnya. Lantas setelah itu, Meisya duduk di tepi tempat tidur. Ia menatap benda itu dan mengusapnya.
Meisya teringat sesuatu. Dulu, ia sering sekali bercanda di atas tempat tidur yang sedang ia duduki saat ini. Bersama mendiang Aisya, Wildan, dan Dyana, mereka seringkali menghabiskan malam dengan bercanda hingga tidur bersama.
Seketika, Meisya merasa hatinya kembali sesak. Air matanya sudah sampai di pelupuk mata. Namun beberapa detik kemudian, ia menggeleng cepat. Ia tidak ingin kembali terlarut dalam luka. Bukankah ia percaya bahwa ia bisa kuat? Ya, ia percaya itu.
"Mama, papa, Aisya, Meisya kangen,"
"Semoga kalian baik-baik aja di tempat kalian yang baru, ya,"
"Meisya udah baik-baik aja kok di sini,"
"Meisya bakalan hidup bahagia. Bersama orang-orang yang akan membahagiakan Meisya. Semoga kalian bahagia juga, ya,"
Lantas Meisya tersenyum. Ia tak ingin air matanya kembali meluruh. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia harus bisa melewati semua yang terjadi. Ia harus bisa bangkit.
"Aisy,"
Meisya kembali mengingat akan Aisya. Apalagi, tentang permintaan terakhir Aisya kala itu. Meisya kembali tersenyum tipis seakan kini, ia benar-benar sedang berinteraksi dengan saudara kembarnya itu.
"Lo udah bahagia belum? Permintaan lo udah terpenuhi,"
"Permintaan lo udah terpenuhi, bahkan sebelum gue memutuskan untuk memulai perjuangan yang menurut gue akan sulit,"
"Tapi lo nggak akan pernah nyangka kalau ternyata, gue bukanlah yang pertama, Aisy. Ada Mbak Savierra yang berhasil meraih cinta Mas Azzam sebelum gue,"
"Gue bingung sebenernya. Karena sekarang, perasaan gue udah mulai nyaman, Aisy. Gue harus gimana?"
"Menyerah kah? Tapi hati gue bilang jangan."
![](https://img.wattpad.com/cover/189512600-288-k753227.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Imanku
SpirituellesSequel "Sepertiga Malam Tentangnya" Baca dulu 👉🏼 "Sepertiga Malam Tentangnya" Ana uhibbuka fillah. Aku mencintaimu, karena kecintaanmu pada Allah. Kehidupan rumah tangga memang tak ada yang berjalan mulus. Pasti ada lika-liku yang mengiringi. Prob...