Hari sudah semakin gelap. Malam ini terasa sangat mencekam. Tidak ada suasana hati yang sedang baik-baik saja. Semuanya sedang resah, sedih, kecewa, dan sakit. Hari ini seakan hari yang berselimut duka.
Berada dalam pelukan Natasha, suaranya sudah tak terdengar. Namun air matanya masih menetes perlahan-lahan. Hanya tersisa Natasha dan Reyhan saja yang berada di rumah sakit bersama Meisya. Beberapa teman yang lainnya sudah terlebih dahulu pamit pulang.
"Mei, makan dulu, ya."
Meisya hanya menggeleng lemah. Sudah berulang kali Natasha menawari Meisya untuk makan. Tapi gadis itu tetap saja menolaknya. Saat ini, di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua. Reyhan sedang pergi ke kantin untuk membeli makan malam.
"Nat,"
"Iya?"
"Kenapa hidup gue harus kayak gini," Lirih Meisya.
"Mei, jangan bilang begitu. Nggak baik."
"Terus yang baik gimana? Memang udah begini adanya, kan?"
"Mei, apapun yang terjadi, semua pasti ada hikmah di baliknya."
Meisya menelan ludahnya. Hatinya masih sangat sakit dan sulit menerima kenyataan pahit ini. "Sekarang gue sendirian. Gue nggak punya siapa-siapa,"
Natasha menggeleng. "Lo nggak sendirian kok. Kan ada gue. Gue bakal selalu nemenin lo. Lo tenang aja, ya,"
"Sampai sekarang gue masih berharap bisa ikut sama mereka. Kenapa gue nggak sekalian mati kayak keluarga gue aja, sih,"
"Mei, lo nggak boleh bilang begitu. Lo harus bersyukur karena lo masih bisa diselamatkan. Nggak baik ngomong begitu, Mei."
"Terus apa untungnya bagi gue? Keluarga gue semuanya udah pergi, Nat. Gue sendirian, nggak punya siapa-siapa. Kenapa gue harus hidup kalau begini,"
"Ssstt, udah, jangan bilang gitu lagi. Lo masih punya gue. Lo boleh anggap keluarga gue sama kayak keluarga lo."
"Rasanya beda, Nat. Orang-orang yang bersama gue sejak gue kecil sekarang udah pergi semua. Sebanyak apapun orang-orang di sekitar gue sekarang nggak akan bisa gantiin posisi keluarga gue,"
"Gue ngerti, Mei. Gue faham. Lo harus sabar. Pelan-pelan, lo coba ikhlasin mereka, ya."
"Gue pengen ikut sama mereka, Nat,"
"Mei, jangan bilang begitu."
Meisya menggeleng sembari menangis. "Gue nggak bisa, Nat. Gue nggak bisa,"
"Lo bisa. Lo bisa bertahan dan menjadi Meisya yang lebih baik lagi. Demi keluarga lo, Mei. Biarin mereka istirahat dengan tenang di sana."
"Apa gue salah, Nat? Apa gue salah kalau gue kecewa sama takdir gue? Gue capek sama semua ini,"
"Mei, kita nggak pernah tau takdir akan berjalan seperti apa. Maka dari itu, entah bahagia atau luka kita harus sama-sama mau menerima. Hidup nggak hanya perihal bahagia, Mei. Kita juga harus siap jatuh. Tapi setelah itu kita jangan sampai lupa untuk bangkit lagi."
"Gue udah nggak kuat untuk bangkit lagi,"
"Lo bisa. Lo orang yang kuat, Mei. Lo bisa lewatin ini semua."
"Lo nggak ngerasain apa yang gue rasain, Nat. Keluarga lo utuh, nggak meninggal semua kayak gue. Badan lo sehat. Nggak sakit-sakitan kayak gue. Rumah lo hangat, banyak orang. Nggak dingin dan mencekam kayak rumah gue. Gue sendirian, tanpa siapa-siapa. Terus kalau udah begitu, gue hidup buat apa? Tujuan hidup gue udah pada pergi ninggalin gue."
"Mei, lo jangan bilang begitu. Gue tau, Mei, gue faham apa yang lo rasa---"
"Lo nggak faham, Nat. Karena lo nggak mengalami apa yang gue alami."

KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Imanku
SpirituellesSequel "Sepertiga Malam Tentangnya" Baca dulu 👉🏼 "Sepertiga Malam Tentangnya" Ana uhibbuka fillah. Aku mencintaimu, karena kecintaanmu pada Allah. Kehidupan rumah tangga memang tak ada yang berjalan mulus. Pasti ada lika-liku yang mengiringi. Prob...