Detik demi detik, menit demi menit, jam demi, jam, hari demi hari. Ya, waktu demi waktu terus berlalu. Namun, duka di beberapa hari yang lalu masih membekas begitu pilu dalam kalbu.
Raganya sudah tidak berada di sini. Namun rasanya, keberadaannya masih seakan ada memenuhi relung hati. Selang beberapa hari setelah kepergian Aisya, Meisya masih saja tak ingin keluar dari rumah. Bahkan, ia sudah tidak masuk kuliah selama satu minggu. Lukanya masih belum sembuh sebab Aisya yang meninggalkannya begitu jauh.
Keluar dari kamar saja rasanya enggan. Ia tidak mempunyai semangat untuk memulai hari. Atau bahkan untuk sekedar menyambut mentari. Hari-harinya berteman sepi. Tidak ada lagi suara Aisya yang menceramahinya banyak hal. Tidak ada lagi tingkah laku Aisya yang kadang membuatnya sebal. Meisya sangat merindukan itu semua.
"Bahkan sampai saat ini, gue masih berharap lo kembali, Aisy."
Meisya terduduk melipat kakinya di atas tempat tidur sembari menatap jendela. Masih sama seperti pagi yang sebelumnya, hari ini, Meisya masih tak berkeinginan untuk pergi ke kampus. Ia sedang tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa. Ia ingin sendirian. Karena dalam kesendirian itulah, ia merasa ada Aisya yang turut bersamanya.
Air matanya menetes. Rindu yang begitu hebat kembali datang menyapa. Membawa rasa sesak yang sungguh sangat menyakitkan. Seketika Meisya teringat akan kenangan-kenangannya bersama Aisya. Bertahun-tahun lamanya hidup bersama, lantas tiba-tiba dipisahkan oleh kematian. Sungguh sangat menyesakkan.
Meisya mengusap air mata yang membasahi pipinya. Namun tak lama kemudian, pipinya kembali basah sebab air matanya yang baru. Dukanya masih benar-benar terasa. Lukanya masih terbuka, belum menemukan penyembuhnya. Saat ini, ia sudah menjadi satu-satunya. Satu-satunya harapan milik orang tuanya.
"Gue kangen sama lo, Aisy."
"Nggak bisakah lo datang sebentar? Gue pengen peluk,"
Meisya masih terduduk sembari memeluk lutut. Kepalanya pun ia sandarkan di lututnya. Ia mulai merasa pusing sebab terlalu banyak menangis. Hari ini, ia merasa tubuhnya kembali lemas. Semenjak Aisya pergi, ia sudah jarang sekali mengontrol gula darahnya. Meisya tidak peduli dengan apapun yang akan terjadi pada dirinya. Ia benar-benar rapuh. Separuh jiwanya telah pergi meninggalkannya begitu jauh.
Namun, masih bersama luka yang menyayat, Meisya juga memikirkan satu hal. Ya, mama dan papanya. Meisya faham, Wildan dan Dyana pastilah hancur juga hatinya. Sulit menerima kepergian Aisya yang mendahului mereka. Tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya pergi mendahului mereka. Namun, tidak ada juga seorang anak yang ingin melihat orang tuanya pergi mendahului dirinya.
Meisya kerap kali melihat Wildan dan Dyana yang mencoba ikhlas menerima apapun yang terjadi pada mereka. Berbeda dengan Meisya yang masih belum bisa ikhlas. Gadis itu masih mengharap Aisya kembali. Meski sejatinya, hal itu tidak mungkin terjadi.
Seketika, Meisya merasa dirinya telah egois. Ia merasa menjadi seseorang yang paling kehilangan Aisya. Padahal, Wildan dan Dyana juga merasakan sakit yang tak kalah hebatnya. Meisya merasa bersalah kala mengingat Wildan dan Dyana. Ia tidak bisa terus diam. Ia harus bisa bangkit kembali. Meisya sadar, di pundaknya terdapat harapan besar orang tuanya.
Perlahan-lahan, Meisya berniat turun dari tempat tidurnya. Namun, kepalanya terasa sangat pusing. Meisya terdiam sebentar sembari mengerjap-erjapkan matanya. Hari masih pagi, tapi ternyata ia sudah didatangi oleh rasa sakit lagi.
Meisya bisa menduga bahwa pagi ini gula darahnya sedang sangat rendah. Karena ia merasa sangat pusing dan sangat lemas. Bahkan, badannya terasa hangat. Meisya membuka mini fridge dan mengambil suntik insulin. Lantas seperti biasanya, Meisya pun menyuntikkan cairan itu ke dalam tubuhnya sebelum sarapan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Imanku
EspiritualSequel "Sepertiga Malam Tentangnya" Baca dulu 👉🏼 "Sepertiga Malam Tentangnya" Ana uhibbuka fillah. Aku mencintaimu, karena kecintaanmu pada Allah. Kehidupan rumah tangga memang tak ada yang berjalan mulus. Pasti ada lika-liku yang mengiringi. Prob...