Hari sudah semakin gelap. Malam ini, nampaknya kegelapan sedang merangkul hebat. Tidak ada senyum yang merekah sempurna. Tidak ada udara yang melegakan sesak dalam jiwa. Semuanya nampak suram, penuh air mata.
Masih berada di tempat yang sama, bersama doa-doa yang terus membintang di langit kasih-Nya. Masih bersama air mata yang menjadi teman setia. Juga bersama hati yang menanti kabar baik tanpa kata kecewa.
Rupanya, air mata sudah menjelma seperti hujan. Turun deras membentuk sungai kecil di wajah. Ada rasa sesak yang begitu hebat, melihat separuh jiwa terbaring lemah tanpa daya. Ketika nyawanya berada di antara ada dan tiada, sang hati ingin rapuh. Sang mata ingin terpejam. Namun rupanya, sang jiwa masih tersadar. Bahwa pasti masih ada jalan, meski dalam kecilnya pengharapan.
"Aisya,"
Menatap dari kejauhan, hanya itu yang dapat dilakukan oleh Meisya. Beberapa saat yang lalu, dokter dan perawat sudah keluar dari intensive care unit (ICU). Dan kini, alat-alat medislah yang sedang menjalankan tugasnya. Benda-benda tak hidup itu yang akan membantu Aisya bertahan hidup. Meski sejatinya, matanya pun masih setia tertutup.
"Mei, duduk dulu, ya. Dari tadi kamu berdiri terus. Nanti kamu kecapekan." Ucap Dyana sembari memegang bahu Meisya. Namun, Meisya tetap menggeleng sebagai jawaban.
"Kalau gitu, cari makan dulu, ya. Kan dari tadi belum makan,"
Lagi dan lagi, Meisya menggeleng. "Meisya nggak laper,"
"Jangan begitu, Mei. Aisya pasti nggak seneng kalau lihat kamu nyakitin diri sendiri begini,"
"Begini aja nggak ada apa-apanya, ma. Aisya udah lebih sakit di dalem sana,"
"Mei,"
"Meisya takut Aisya pergi,"
Dyana membawa Meisya ke dalam pelukannya. Mengusap lembut punggung Meisya yang sesenggukan. Bagaimanapun juga, ia adalah seorang ibu. Hatinya tentu hancur melihat harapan hidup Aisya yang sangat kecil. Hatinya juga tentu hancur melihat air mata Meisya yang sedari tadi terus mengalir. Namun, Dyana mencoba kuat, meski sejatinya ia begitu rapuh dan sakit.
"In Shaa Allah, Aisya akan tetep sama kita, ya." Ucap Dyana menenangkan.
"Kapan Aisya buka matanya, ma? Meisya nggak suka lihat Aisya kritis begitu,"
"Sabar. Nggak lama lagi, Mei. Kita harus percaya."
"Tapi ini udah lama banget."
"Iya, nak. Udah, nggak apa-apa. Kita harus percaya kalau Aisya pasti baik-baik aja. Kamu lupa, Aisya nggak suka lihat kita semua nangisin dia."
Meisya menggeleng lemah. "Meisya takut,"
"Nggak akan ada apa-apa, sayang. Semuanya akan baik-baik aja. Hapus air matanya, ya. Kalau Aisya lihat, nanti dia bisa marah."
Dyana melepas pelukannya. Tangannya terulur menghapus air mata yang membasahi pipi putrinya. Meisya sudah cukup dewasa. Namun tetap saja, di mata Dyana, Meisya dan Aisya tetaplah putri kecil yang sangat disayanginya.
"Sekarang, kamu duduk dulu, ya. Jangan berdiri terus. Ayo, duduk di samping papa."
Dyana menuntun Meisya untuk duduk di samping Wildan. Lantas, Meisya pun menurut. Lantas setelah itu, Wildan mengusap pucuk kepala Meisya.
"Sabar."
"Papa,"
"Kalau Meisya kuat, sudah pasti Aisya juga kuat, nak. Putri-putri papa kan anak yang kuat,"
Meisya memeluk Wildan begitu erat. Ia kembali sesenggukan dalam pelukan pahlawan tak berkudanya. Wildan pun sama, membalas pelukan putrinya dengan penuh kasih sayang. Mengusap kepala Meisya dan memberikan kekuatan di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Imanku
SpirituellesSequel "Sepertiga Malam Tentangnya" Baca dulu 👉🏼 "Sepertiga Malam Tentangnya" Ana uhibbuka fillah. Aku mencintaimu, karena kecintaanmu pada Allah. Kehidupan rumah tangga memang tak ada yang berjalan mulus. Pasti ada lika-liku yang mengiringi. Prob...