DARAH

304 30 0
                                    

Hari sudah sangat malam, tapi mata sang gadis ini masih sulit terpejam. Ia dapat merasakan nafasnya yang panas, kepalanya yang sangat pening, badan yang sangat lemas, hingga waktu tidurnya terganggu. Gadis itu terus menerus memegangi kepalanya yang hangat itu.

"Aisy, lo nggak apa-apa?"

"Gue pusing banget, Mei."

Ya, Aisya Syahzeeqava. Sudah satu tahun terakhir ia merasakan rasa-rasa yang menyakitkan yang menerjang tubuhnya. Akibat penyakit yang diidapnya, tubuhkan kian kurus karena tak nafsu makan. Bahkan, Meisya, saudara kembarnyapun kerap jarang berhasil membujuknya.

"Mei, sekarang jam berapa?" Tanya Aisya dengan lemas.

"Jam setengah dua, Aisy. Em, lo bangun bentar deh. Minum dulu ya. Sini gue bantu."

Meisya membantu Aisya mendudukkan badannya dan menyandarkan punggungnya di kepala kasur. Kemudian, Meisya memberikan segelas air yang sudah tersedia di atas nakas di samping tempat tidurnya. Meisya membantu Aisya minum sedikit demi sedikit.

"Lo kenapa, Aisy? Pusing banget ya?"

Aisya hanya mengangguk lemah. Melihatnya, Meisya merasa sangat khawatir. Ia bingung harus berbuat apa. Ia takut akan terjadi sesuatu dengan Aisya malam ini. Khawatirnya bertambah saat ia melihat darah yang keluar dari hidung Aisya.

"Aisy, darah!"

Aisya yang menyadari ada darah yang menetes dari hidungnya langsung mengelap darah itu dengan tangannya. Meisya membantu memberikan tisu pada Aisya.

"Aisy, lo mimisan. Darahnya banyak banget!"

"Ya Allah, darah lagi." Ucap lirih Aisya.

"Apa?! Lo udah pernah mimisan sebelumnya? Berapa kali?"

"Udah biasa, Mei. Nggak apa-apa kok ini."

"Nggak apa-apa gimana?! Itu darah! Banyak banget, Aisy."

"Iya, udah nggak apa-apa. Dampak dari penyakit gue emang gini."

"Gue panggil mama papa dulu deh. Lo tunggu sini ya."

Saat Meisya hendak turun dari kasurnya, tiba-tiba Aisya mencegah dirinya. "Jangan, Mei."

"Lo jangan nekat deh, Aisy. Gue nggak mau lo kenapa-napa. Udah diem, tunggu sini!"

Aisya tetap menggeleng dan tidak menyetujuinya. "Mei, dengerin gue, mama papa pasti udah pada tidur. Jangan ganggu mereka, Mei. Gue nggak apa-apa kok."

"Aisy, lo selalu kaya gini kalo kambuh. Ini aja untung gue tau. Seandainya nggak ada gue gimana? Gue harus kasih tau mama papa, Aisy."

"Mei, mama papa pasti udah tidur. Mereka capek, Mei. Jangan ganggu istirahat mereka. Gue nggak mau mereka khawatir sama gue."

"Tapi, Aisy---"

"Please, Mei. I'm fine, gue nggak apa-apa. Paling ini efek obat aja. Cuman pusing doang kok."

"Aisy, gue aja bisa liat badan lo lemes banget gitu. Dan lo masih bilang nggak apa-apa? Lo seneng banget nyiksa diri lo sendiri. Sebel gue sama lo."

"Mei, dengerin gue ya, gue bakalan lebih tersiksa ngelihat mama sama papa khawatir dan cemas sama gue. Gue lebih ngerasa bahwa gue nggak berguna banget ada disini untuk kalian semua. Gue pengen break dulu sebentar aja, Mei."

"Aisy, lo udah bikin kita semua khawatir dan takut. Tapi kita semua tetep bakal selalu ada buat lo. Lo tau, hidup lo itu bukan sebagai manusia yang nggak berguna. Lo itu berarti banget buat gue, buat mama sama papa juga. Gue mohon, Aisy, jangan kenapa-napa,"

Separuh ImankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang