69. Melepas Lara

1.6K 259 23
                                        

Setahun telah berlalu sejak kepergian putriku yang cantik, tak pernah sedetikpun aku melupakan wajah dan tawanya. Tak pernah sedetikpun aku mengira kalau dia telah tiada.

"Mama." Bocah kecil bermata hitam bulat memeluk kakiku, dia mengisap betisku kemudian tertawa. Dialah penghiburku, pengobat lara hati yang perih.

Aku tersenyum mengangkatnya dan mendudukkan di pangkuanku, dia kemudian meraih tanganku dan menghisapnya kuat. Aku merasa geli. Kubelai rambutnya yang hitam legam, betapa dia merupakan replika dari pria yang aku cintai.

"Mama."

"Ya, sayang?"

"Aku mau pergi ke taman bermain sama mama dan papa." Aku menghela nafas, permintaan putraku itu terdengar menyedihkan. Karena sejak kepergian Kela, kami sekeluarga nyaris tidak pernah pergi ke luar. Nyaris tak ada tawa canda gembira seperti dulu, seperti awan gelap terus merundung dan menaungi kediaman Zolandra Hadikusumo.

"Mama janji, ya?" Mata kecil itu berkaca, menatapku penuh harap. Aku kemudian mengangguk.

X tertawa senang, di awal-awal dulu dia sering menanyakan Kela. Akhirnya kami mengatakan kalau Kela pergi ke luar negeri untuk berlibur.

"Telepon papa, Ma." X merengek lagi. Karena permintaannya itu, aku mengiakan. Tetapi ponsel suamiku tidak aktif. Belakangan, aku menyadari kalau Zola sering mengurung diri di ruang kerjanya. Dia pastilah sangat sedih, walau Kela bukan anak biologisnya, suamiku sangat amat menyayanginya.

Aku memanggil adikku, Reva. Memintanya menjaga X, siang ini aku bermaksud mengantar makan siang ke kantor suamiku. Aku berusaha bertahan, seperih apa rasa sakit ini mendera, aku masih memiliki kewajiban sebagai seorang istri.

"Kakak mau ke kantor Papa X?" Reva melotot seperti tak percaya.

Aku mengangguk, "Sudah lama sekali."

"Syukurlah." Reva menyeka matanya, mungkin dia ingin aku melanjutkan hidup. Tapi, hidup ini terasa sudah tak sama lagi seperti dulu.

Aku membuatkan suamiku telur dadar kesukaannya, menyiapkan bekal. Mungkin nanti aku akan menyuapinya, dan berkeluh kesah sedikit. Menangis lagi di bahunya untuk ratusan kali. Tanpa suamiku pernah mengeluh tentang sikapku.

Aku meminta supir mengantar ke kantor, di sana sekretarisnya melihatku kaget. Aku memakai kacamata, karena kusadari wajahku masih sembab.

"Bapak ada?"

"I-itu ...." Dia tampak gagap. "Bapak, beliau rapat, Bu."

"Rapat di mana?" Aku tak serta merta percaya, kegugupannya membuatku curiga. "Bapak ke mana?"

"Bapak ke luar, Bu." Dia akhirnya berkata.

"Ke mana?" Aku sedikit heran dengan tingkah laku sekretaris suamiku, hanya bilang suamiku ke luar saja. "Saya mau lihat jadwal, Bapak." Kecurigaanku semakin bertambah, tampak jelas si sekretaris dan mungkin suamiku tidak menduga kalau aku akan datang. Terlihat dari ketidaksiapannya memberi jawaban.

"Ibu ..." Dia akhirnya mengalah dan memberikan jadwal suamiku.

"Apa?" Aku menatap tak percaya.

"Seminggu dua kali, setiap jam siang, Bapak mengunjungi psikiater, Bu."

Seketika bungkusan di tanganku terjatuh, sekretaris suamiku dengan sigap mengambilnya kembali.

"Sejak kapan?" Aku merasa mataku berair.

"Sudah setahun."

Aku terhuyung, sekretaris segera menopangku dan membimbingku ke sofa.

"Maaf, Bu. Bapak tidak ingin ada yang tau." Aku menyuruhnya ke luar dari ruang kerja suamiku, dan air mata ini lagi-lagi mengalir dalam diam.

Wounded Heart (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang